- Setiap kelompok yang melakukan presentasi kuliah lapangan harus mempersiapkan teknis dan substansi secara serius. Waktu presentasi maksimal 50 menit, termasuk sesi tanya jawab.
- Beberapa hal yang “wajib” disajikan ketika presentasi adalah sebagai berikut:
- Laporan kegiatan kuliah lapangan sepanjang minimal 3 halaman yang berisi tentang: tema, tujuan, 5W1H mengenai tempat/objek yang dikunjungi, dan daftar lengkap anggota kelompok. Laporan ini dikumpulkan kepada dosen dan tutor sesaat sebelum presentasi.
- Video mengenai dan/atau terkait dengan kuliah lapangan sepanjang 5 s/d 15 menit yang diputar pada saat presentasi. Video yang dibuat harus memperhatikan aspek etika dan tidak boleh mengarah pada provokasi negatif mengenai isu SARA. Video tersebut wajib dikumpulkan bersamaan dengan laporan kegiatan dalam bentuk CD/DVD.
Jumat, 30 Maret 2012
Info Terkait Laporan Tugas Lapangan
Selasa, 27 Maret 2012
diskriminasi dalam keluarga
Shadri Saputra
11/317935/SP/24817
Diskriminasi dalam Keluarga
Diskriminasi adalah pembedaan antara bagian yang setara atau dalam kondisi yang sama. Diskriminasi adalah hal negatif yang selalu memunculkan sikap kecemburuan dan kesenjangan.[1]Dskriminasi berkaitan erat dengan ketidakadilan. Diskriminasi ini akan mempengaruhi sikap dan kepribadian pihak yang terdiskriminasi. Ketika orang-orang menyadari hal ini, mereka akan mekatakan bahwa diskriminasi adalah hal yang berbahaya dan harus dihindarkan. Namun tindakan ini sering tanpa disadari dan spontan.
Diskriminasi sering terjadi dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua terhadap sebagian anak. Anak yang satu mendapat perlakuan yang baik sementara yang lain tidak. Saya pernah memperhatikan, ada sebuah keluarga yang bisa dikatakan keluarga berpendidikan, ada dua orang anak yang keduanya adalah anak perempuan dan keduanya adalah anak yang pandai. Anak pertama memiliki jiwa sosial yang kurang baik, lebih sibuk sendiri dan kurang peduli sekitar. Sementara anak kedua memiliki jiwa sosial yang baik, lebih peduli sekitar. Dengan demikian orang tua memiliki kedekatan yang lebih terhadap anak kedua. Anak kedua sering disapa sementara anak pertama tidak. Dari sini timbul sikap acuh tak acuh dari anak pertama. Ini muncul dari anak pertama terhadap orang tua, sementara terhadap temannya tidak. Sikap ini membuat orang tua sering marah. Hal ini membuat anak pertama semakin jauh dengan orang tua. Anak kedua sering berkumpul dan beraktifitas dengan orang tua, terutama pekerjaan dapur dengan ibu. Sementara anak pertama kebih sering sibuk sendiri. Anak pertama awalnya dikenal sebagai anak yang akademis, tidak suka nonton. Dan sejenisnya. Namus sekarang lebih suka menghabiskan waktu untuk itu. Anak kedua sering bermusyawarah sementara anak pertama sering memutuskan sesuatu sendiri
Ini contoh diskriminasi yang sederhana dan terkesan lucu ketika diungkapkan. Namun inilah tindakan diskriminasi yang jarang disadari sehingga jarang diperhatikan. Dan ini akan semakin berbahaya jika terus diabaikan.
[1] Ahmad Farid Mubarok, dalam http://filsafat.kompasiana.com/2010/04/01/diskriminasi-atau-diferensiasi/, diakses 26 Maret 2012
Senin, 26 Maret 2012
Diskriminasi Prasangka Sosial/Stereotip
Ardra F.
06/192760/SP/21341
DISKRIMINASI PRASANGKA SOSIAL/STEREOTIP
Diskriminasi merupakan isu yang telah lama terjadi bahkan ketika manusia belum mengenal peradaban. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan sifat manusia untuk membeda-bedakan satu dengan yang lain dan pada dasarnya setiap manusia memang merupakan individu yang berbeda. Pengertian diskriminasi itu sendiri merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender, ras, agama,umur, atau karakteritik yang lain.
Isu diskriminasi yang akan penulis bahas berkaitan dengan contoh kasus yang terjadi di lingkungan sekitar mengenai prasangka sosial/stereotip. Adanya prasangka sosial bergandengan pula dengan stereotip yang merupakan gambaran atau tanggapan tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi orang golongan lain yang bercorak negatif. Stereotip megenai orang lain sudah terbentuk pada orang yang berprasangka sebelum ia mempunyai kesempatan untuk bergaul sewajarnya dengan orang-orang lain yang dikenai prasangka tersebut . Biasanya, stereotip terbentuk padanya berdasarkan keterangan-keterangan yang kurang lengkap dan subjektif. Gambaran stereotip tidak mudah berubah serta cenderung untuk dipertahankan oleh orang berprasangka. Meskipun demikian stereotip dan prasangka sosial dapat berubah dengan usaha-usaha intensif secara langsung karena perubahan masyarakat secara umumnya, misalnya karena peperangan atau revolusi.
Diskriminasi yang terjadi berdasarkan prasangka sosial biasanya terjadi karena munculnya etnosentrisme dan favoritisme, dimana etnosentrisme adalah paham yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya dan favoritisme adalah pandangan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, paling bermoral. Pemisahan ini akan menyebabkan timbulnya favoritisme terhadap kelompok sendiri dan diskriminasi terhadap kelompok luar yang kemudian akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap kelompok luar karena kurangnya komunikasi dengan. Bentuk kesalahpahaman tersebut adalah hadirnya stereotip dan prasangka sosial.
Contoh kasus yang terjadi di lingkungan terdekat saya adalah adanya suatu diskriminasi yang dilakukan perseorangan atau kelompok terhadap pengelompokan karakteristik, keahlian,hobi yang kemudian merujuk pada perbedaan bentuk pemikiran terhadap suatu hal. Seperti contoh, jika seseorang berkarakterisitik romantis maka biasanya dia akan dinilai sebagai individu yang cenderung melankolis, dramatis, puitis, lemah lembut, manja, memiliki hobi dan keahlian yang bersifat keibuan/feminim dan cenderung memilih suatu barang berdasarkan keindahan semata. Atau jika seseorang mempunyai keahlian memasak, menjahit, suka akan kerapian dan mementingkan penampilan biasanya akan dikelompokkan sebagai individu berkarakter romantis/feminim. Hal ini juga terjadi pada karakterisitik maskulin yang dinilai sebagai pribadi yang kasar, simple, cuek, kurang menghargai keindahan dan kurang ahli dalam urusan rumah tangga atau karakter perfeksionis yang dinilai sebagai pribadi yang sangat menuntut kesempurnaan berdasarkan standar sosial. Contoh lain dapat dilihat dari pengelompokan keahlian-keahlian spesifik seperti di bidang otomotif, kecantikan, etc. Hal ini kemudian menyebabkan suatu pengelompokan pada bentuk pemahaman dan perbedaan persepsi sehingga terjadi diskriminasi dalam bentuk sikap menghakimi, merendahkan dan kadang terjadi pengisolasian jika hal ini terjadi dalam suatu kelompok.
Lalu, alasan apa yang kemudian menjadi dasar bahwa isu ini adalah salah satu bentuk diskriminasi, adalah karena seseorang yang mempunyai prasangka rasial biasanya bertindak diskriminatif terhadap ras yang diprasangkanya. Tetapi dapat pula orang bertindak diskriminatif tanpa didasari prasangka,dan sebaliknya. Prasangka menunjukkan pada sikap sedangkan diskriminatif pada tindakan. Dalam konteks rasial, prasangka diartikan “suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi”. Dalam hal ini terkandung ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilnya dari beberapa pengalaman. Dalam menghadapi objek prasangka akan bersikap tidak toleran,menyorotnya tidak dari keunikan objek prasangka, tetapi dari kelompok etnis dimana individu tergolong.
Diskriminasi di sekolah
Gloria Exoudianta Barus
11/317872/SP/24758
Ketika Etnis Tionghoa Mendominasi
Beberapa tahun terakhir saya tinggal di kota Batam. Saya tinggal di lingkungan yang majemuk, dan sebenarnya secara umum orang-orangnya dapat menerima perbedaan yang ada dengan baik. Di Batam sendiri penduduknya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Penduduk asli Batam beretnis Melayu dan terdapat juga banyak orang beretnis Tionghoa yang berasal dari pulau-pulau di sekitar pulau Batam. Namun saat ini Batam dipenuhi oleh pendatang yang kebanyakan beretnis Batak dan Flores. Selain itu ada juga yang beretnis Padang, Jawa, Sunda, dan etnis lainnya. Di sekolah saya sendiri secara khusus, mayoritas muridnya merupakan etnis Tionghoa yang beragama Buddha.
Kebanyakan orang yang beretnis Tionghoa di Batam berbeda dengan etnis Tionghoa di Jawa. Jika di Jawa orang-orang Tionghoa sudah berakulturasi dengan orang Jawa dan identitas Tionghoanya tidak terlalu tampak, selain dari ciri fisik yang terlihat. Hal ini dapat dilihat di Jawa, orang-orang Tionghoa banyak yang sudah tidak bisa berbahasa Mandarin, dan bahkan lancar berbahasa Jawa. Mungkin karena mereka juga sudah banyak berinteraksi dengan orang pribumi dalam keseharian mereka.
Namun hal yang berbeda saya lihat dari etnis Tionghoa di Batam. Di Batam masih banyak orang Tionghoa yang etnisitasnya sangat terlihat. Banyak orang Tionghoa yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari. Bahkan banyak teman saya di sekolah yang tidak begitu lancar berbahasa Indonesia secara formal.
Hal lainnya adalah, ada beberapa orang Tionghoa hanya bergaul dengan sesama orang Tionghoa. Orang-orang semacam ini juga ada di sekolah saya, meskipun hanya beberapa. Kebanyakan teman saya saling berkomunikasi dengan bahasa mandarin, sehingga saya dan teman-teman lain yang non-tionghoa sering merasa risih karena mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Kami sering merasa bahwa mungkin saja mereka membicarakan saya namun saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Dari pihak sekolah pun sudah sering mengingatkan agar murid-murid menggunakan bahasa Indonesia di sekolah agar tidak ada pembeda-bedaan, namun mereka tetap saja menggunakan bahasa mandarin. Sebenarnya karena saya sudah terbiasa, saya hanya menghiraukannya. Namun yang sering membuat saya kecewa adalah, karena mereka cenderung bergaul sesama mereka, saya menjadi agak canggung untuk bergabung dengan mereka. Misalnya saat disuruh untuk membentuk kelompok saat pelajaran, banyak yang langsung membentuk kelompok sesama orang Tionghoa saja. Oleh karena itu saya menjadi sering merasa terpinggirkan.
Saya juga merasa ada beberapa teman saya yang menyepelekan orang pribumi. Di sekolah saya memang kebanyakan siswa yang berprestasi adalah orang tionghoa. Sehingga jika pada akhir semester biasanya pada upacara bendera kepala sekolah memanggil juara-juara kelas ke depan, maka berjejerlah orang-orang tionghoa berkulit putih. Pada kelas 2 SMA saya menjadi juara kelas dan ikut dipanggil ke depan, dan kemudian ada seorang teman saya berkata “eh Gloria item sendiri”. Mungkin maksud dari teman saya hanya bercanda, tapi sejujurnya saya merasa agak tersinggung dengan pernyataan tersebut.
Kemudian ada lagi yang berkata “Bisa juga ya dia ngalahin orang Cina”. Saya di satu sisi merasa bangga karena saya bisa meruntuhkan dominasi orang Cina. Namun di sisi lain saya merasa tersinggung karena berarti selama ini banyak orang yang menganggap bahwa orang tionghoa lebih pintar dari pribumi, bahwa mereka berada di atas orang pribumi. Mungkin kalimat tersebut hanyalah sebuah celetuk dari teman saya, namun saya merasa bahwa hal ini juga termasuk diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya di sekolah saya lebih banyak orang Cina yang berprestasi, namun menurut saya tidak sebaiknya orang mempunyai stereotip bahwa hanya orang Cina yang bisa berprestasi.
11/317872/SP/24758
Ketika Etnis Tionghoa Mendominasi
Beberapa tahun terakhir saya tinggal di kota Batam. Saya tinggal di lingkungan yang majemuk, dan sebenarnya secara umum orang-orangnya dapat menerima perbedaan yang ada dengan baik. Di Batam sendiri penduduknya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Penduduk asli Batam beretnis Melayu dan terdapat juga banyak orang beretnis Tionghoa yang berasal dari pulau-pulau di sekitar pulau Batam. Namun saat ini Batam dipenuhi oleh pendatang yang kebanyakan beretnis Batak dan Flores. Selain itu ada juga yang beretnis Padang, Jawa, Sunda, dan etnis lainnya. Di sekolah saya sendiri secara khusus, mayoritas muridnya merupakan etnis Tionghoa yang beragama Buddha.
Kebanyakan orang yang beretnis Tionghoa di Batam berbeda dengan etnis Tionghoa di Jawa. Jika di Jawa orang-orang Tionghoa sudah berakulturasi dengan orang Jawa dan identitas Tionghoanya tidak terlalu tampak, selain dari ciri fisik yang terlihat. Hal ini dapat dilihat di Jawa, orang-orang Tionghoa banyak yang sudah tidak bisa berbahasa Mandarin, dan bahkan lancar berbahasa Jawa. Mungkin karena mereka juga sudah banyak berinteraksi dengan orang pribumi dalam keseharian mereka.
Namun hal yang berbeda saya lihat dari etnis Tionghoa di Batam. Di Batam masih banyak orang Tionghoa yang etnisitasnya sangat terlihat. Banyak orang Tionghoa yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari. Bahkan banyak teman saya di sekolah yang tidak begitu lancar berbahasa Indonesia secara formal.
Hal lainnya adalah, ada beberapa orang Tionghoa hanya bergaul dengan sesama orang Tionghoa. Orang-orang semacam ini juga ada di sekolah saya, meskipun hanya beberapa. Kebanyakan teman saya saling berkomunikasi dengan bahasa mandarin, sehingga saya dan teman-teman lain yang non-tionghoa sering merasa risih karena mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Kami sering merasa bahwa mungkin saja mereka membicarakan saya namun saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Dari pihak sekolah pun sudah sering mengingatkan agar murid-murid menggunakan bahasa Indonesia di sekolah agar tidak ada pembeda-bedaan, namun mereka tetap saja menggunakan bahasa mandarin. Sebenarnya karena saya sudah terbiasa, saya hanya menghiraukannya. Namun yang sering membuat saya kecewa adalah, karena mereka cenderung bergaul sesama mereka, saya menjadi agak canggung untuk bergabung dengan mereka. Misalnya saat disuruh untuk membentuk kelompok saat pelajaran, banyak yang langsung membentuk kelompok sesama orang Tionghoa saja. Oleh karena itu saya menjadi sering merasa terpinggirkan.
Saya juga merasa ada beberapa teman saya yang menyepelekan orang pribumi. Di sekolah saya memang kebanyakan siswa yang berprestasi adalah orang tionghoa. Sehingga jika pada akhir semester biasanya pada upacara bendera kepala sekolah memanggil juara-juara kelas ke depan, maka berjejerlah orang-orang tionghoa berkulit putih. Pada kelas 2 SMA saya menjadi juara kelas dan ikut dipanggil ke depan, dan kemudian ada seorang teman saya berkata “eh Gloria item sendiri”. Mungkin maksud dari teman saya hanya bercanda, tapi sejujurnya saya merasa agak tersinggung dengan pernyataan tersebut.
Kemudian ada lagi yang berkata “Bisa juga ya dia ngalahin orang Cina”. Saya di satu sisi merasa bangga karena saya bisa meruntuhkan dominasi orang Cina. Namun di sisi lain saya merasa tersinggung karena berarti selama ini banyak orang yang menganggap bahwa orang tionghoa lebih pintar dari pribumi, bahwa mereka berada di atas orang pribumi. Mungkin kalimat tersebut hanyalah sebuah celetuk dari teman saya, namun saya merasa bahwa hal ini juga termasuk diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya di sekolah saya lebih banyak orang Cina yang berprestasi, namun menurut saya tidak sebaiknya orang mempunyai stereotip bahwa hanya orang Cina yang bisa berprestasi.
Contoh Diskriminasi
Elisabeth Winda Alfanisa
11/312377/SP/24538
Semasa saya masih bersekolah di SD saya, dan sekolah saya pernah menerima diskriminasi. Saya bersekolah di salah satu sekolah Kristen di kota saya. SD saya tersebut adalah SD yang cukup ternama dan salah satu SD favorit yang terletak di tengah kota. Banyak kompetisi yang SD saya menangi, mulai dari kompetisi akademis dan kompetisi non akademis. Namun ada hal yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan para guru SD pada masa itu mengenai kemenangan yang diraih SD kami dan SD swasta lainnya.
Saya pernah beberapa kali mengikuti lomba solo vocal dan macapat (menyanyikan tembang Jawa) di tingkat kota sampai tingkat karesidenan. Sebelum mewakili di tingkat karesidenan maupun ke tingkat yang lebih tinggi, saya harus melewati beberapa perlombaan di tingkat kecamatan dan kota. Namun hal yang janggal saya rasakan ketika mengikuti lomba di tingkat yang semakin tinggi (kota dan karesidenan), SD saya tidak pernah mendapat juara 1, padahal menurut guru-guru yang menilai, kualitas vocal SD lawan kurang dibanding dengan SD saya. Setelah saya perhatikan dan mendengar secara langsung desas-desus yang terjadi diantara guru-guru, ternyata SD swasta yang lain pun mengalami hal yang sama. Tidak hanya SD swasta Kristen, namun juga yang berbasis Islam pun mengalami hal yang sama.
Semasa itu, dinas pendidikan, kesenian, dan olah raga di kota saya memprioritaskan sekolah negeri untuk mewakili kota saya dalam kompetisi di tingkat karesidenan, kabupaten, maupun di tingkat yang lebih tinggi. Sekolah negeri dipandang lebih mampu mewakili kota darimana kita berasal dibandingkan sekolah swasta yang dipandang hanya mawakili suatu golongan, kelompok atau institusi tertentu saja.
Tindak Diskriminasi
Chrispina Maria Gracia 11/311454/SP/24388
Pengantar Studi HAM
Tindakan Diskriminasi
Diskriminasi bisa dikatakan sebagai tindakan pembedaan antara individu satu dengan yang lainnya, atau kelompok masyarakat satu dan lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, bahasa, kelas sosial, atau aspek lainnya. Tindak diskriminasi ini rentan terjadi di lingkungan masyarakat yang majemuk dan bisa dialami oleh siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan dalam bentuk apa saja.
Salah satu contoh tindakan diskriminasi yang pernah saya alami adalah pembedaan perlakuan yang dilakukan oleh panitia pelaksana Pekan Olahraga dan Seni Nasional (PORSENI) pada tahun 2007. Saat itu, dalam pemberitahuan yang telah disebarkan panitia secara resmi disebutkan bahwa kontingen-kontingen dari seluruh Indonesia, baik yang bertanding dalam bidang olahraga ataupun seni, ditempatkan pada sebuah Asrama Haji di kota tuan rumah PORSENI tersebut. Namun, pada kenyataannya terjadi perlakuan istimewa yang diterima oleh kontingen dari daerah-daerah Indonesia bagian Barat, seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan beberapa daerah lainnya. Kontingen dari daerah-daerah ini ditempatkan di sebuah hotel yang sudah pasti lebih baik dan nyaman daripada tempat yang sudah ditetapkan sebelumnya, sedangkan kontingen dari daerah Bali ke timur tetap menempati Asrama Haji. Tindakan ini mungkin terjadi karena terbatasnya ruangan untuk menampung seluruh kontingen di Asrama Haji. Bila memang ini yang menjadi alasannya, lalu mengapa yang dipindahkan ke tempat lain hanyalah kontingen dari daerah-daerah tertentu saja (hanya dari wilayah Barat)? Mungkin juga panitia menganggap bahwa kontingen-kontingen dari kota besar sudah terbiasa dengan kondisi yang serba nyaman. Panitia terkesan cari aman dan takut mendapatkan protes apabila menempatkan mereka di Asrama Haji, dan harus tinggal berdesakkan bersama kontingen dari daerah lainnya. Entah apa yang sebenarnya menjadi pertimbangan panitia pelaksana untuk melakukannya, namun tindakan ini dapat dilihat sebagai bentuk diskriminasi terhadap kontingen yang berasal dari wilayah Indonesia Timur. Semoga saja pembedaan perlakuan karena daerah asal seperti ini tidak terulang kembali dalam kegiatan-kegiatan lainnya.
Diskriminasi Hingga Tingkat Burjo
A.Syahputra
11/317932/SP/24814
Tindakan Diskriminasi Tingkat Burjo
Diskriminasi merupakan salah satu tindakan yang mengistimewakan salah satu kelompok dan menganak tirikan atau underestimate terhadap kelompok lainnya. Sebagai manusia seharusnya kita memiliki hak umum[1] yang sama dan berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Di Indonesia umumnya tindakan diskrimanasi lebih cendrung ke arah jenis kelamin Gender dan suku. Dalam beberapa kasus, banyak contoh yang menggambarkan bagaimana bentuk tindakan diskriminasi yang terjadi dalam keseharian masyarakat. Bagaimana hanya kaum lelaki atau wanita saja ataupun salah satu suku lebih cocok capable dalam beberapa pekerjaan.
Contoh tindakan diskrimanasi yang terjadi dilingkungan saya merupakan bentuk pengistimewaan Suku Sunda. Kasus ini terjadi di salah satu warung bubur kacang hijau di dekat tempat tinggal saya. Saya tinggal di Asrama Cemara Lima UGM. Di asrama tempat saya menginap, bukan merupakan asrama yang mengkhususkan penghuni berasal dari daerah tertentu. Asrama di tempat saya tersebut memiliki penghuni yang berasal dari banyak kota dan provinsi dari seluruh Indonesia, bahkan beberapa mahasisiswa berasal dari luar negeri seperti Malaysia, Bangladesh, dan yang terjauh berasal dari Gambia (Afrika). Ketika kita makan di warung bubur kacang hijau tersebut[2], teman saya yang berasal dari Suku Sunda mampu berkomunikasi dengan mas- mas pelayan warung tersebut, komunikasi tersebut dengan bahasa Sunda tentunya. Dalam kunjungan yang kesekian kalinya hubungan mereka terlihat semakin baik, menurut saya hubungan baik itu karena adanya obrolan dengan yang cukup hangat ditambah dengan penggunaan bahasa Sunda. Hal tersebut tentunya berbeda dengan mahasiswa yang lain (non-Sunda) ketika di warung tersebut yang biasanya hanya memesan makanan tanpa membuka topic pembicaraan. Baiknya hubungan tersebut semakin terlihat ketika teman saya yang berasal dari Suku Sunda tersebut masuk ke dapurnya untuk sekedar melihat-lihat atau meminta air panas untuk menyeduh kopi yang dia bawa sendiri sebelumnya. Namun hal yang berbeda ketika teman saya (non- Sunda) mencoba melakukan hal sama, dia tidak boleh masuk ke dapur dan ketika dia meminta air panas untuk menyeduh kopi dia terkena biaya sebesar Rp.500.
Sebenarnya saya lihat hal ini sebagai hal biasa yang lumrah terjadi dalam masyarakat. Namun pandangan saya berubah 1800 ketika mendapatkan tugas ini. Menurut saya ketika masalah ini digali lebih dalam, tindakan ini bisa digolongkan sebagai tindakan pelanggaran HAM. Pengistimewaan tersebut (air panas gratis) terjadi karena pelayan warung kacang hijau tersebut cinta terhadap sukunya, Suku Sunda dan itu wajar. Namun hal itu menjadi sebuah tindakan yang tidak wajar ketika teman saya yang non-sunda terkena biaya tambahan untuk segelas air panas. Tindakan tersebut dapat diartikan bahwa pelayan tersebut hanya cinta terhadap suku Sunda, dan tidak kepada suku lainnya. Dan tindakan pencegahan untuk masuk kedapur kepada teman saya yang non-sunda, namun perlakuan sebaliknya terhadap teman saya yang Suku Sunda bisa diartika bahwa pelayan warung tersebut hanya percaya kepada teman saya yang berasal dari Sunda sehingga boleh masuk ke dapur. Sedangkan untuk teman saya yang non-Sunda, pelayan tersebut merasa perlu mencegatnya karena khawatir jika dia melakukan hal yang dapat merugikannya.
Menurut saya adanya kecintaan terhadap suku merupakan hal yang wajar dan tidak bisa di elakkan. Hal tersebut wajar karena kita lahir dan besar ditempat yang memilki ciri khas berbeda. Ditambah lagi dalam era dewasa ini tiap daerah terus memperkuat nilai kedaerahannya untuk meningkatkan cinta kepada daerah. Hal ini tidak bisa dielakkan karena Tuhan menciptkan manusia secara heterogen, dan itu merupakan ciri dari kebesaran Tuhan.
Sebuah hal yang tidak bisa dielakkan bukan berarti tidak bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Menurut saya cinta dearah atau kesukaan perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan ketika sikap tersebut mengurangi atau bahkan menghilangkan hak orang-orang dari suku lain atau bahkan meremehkan suku lain. Tuhan menciptakan manusia secara heterogen agar manusia itu sendiri saling mengenal dan memahami arti pentingnya perbedaan. Dan hal tersebut bisa terjadi jika manusia mampu menekan sikap kedaerahannya yang mengurangi dan atau menghilangkan hak dari suku lainnya sehingga tidak adanya diskriminasi atau tindakan meremehkan suku lain.
[1] Hak umum seperti hak hidup, hak mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum, hak keseehatan, hak pendidikan
SBI = Sekolah Berbasis Iuran?
Diskriminasi Pendidikan
Treviliana Eka Putri 11/317810/SP/24700
Kota Malang merupakan salah satu kota yang dijuluki sebagai kota pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah institusi pendidikan di kota Malang, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ketika semakin banyak sekolah didirikan, maka semakin tinggi pula tingkat persaingannya. Karena itulah saat ini banyak sekolah yang menawarkan berbagai program, termasuk SBI atau Sekolah Bertaraf Internasional. Sebelum menjadi SBI sendiri juga terdapat tahap tahap yang harus dipenuhi oleh sekolah sehingga disebut sebagai RSBI atau Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional.
Sekolah yang sudah termasuk sebagai SBI dikatakan memiliki program program pembelajaran yang lebih baik dan dilengkapi dengan sarana prasarana yang jauh lebih memadai dibandingkan dengan sekolah reguler atau non-SBI. Oleh karena itu banyak sekali orangtua siswa yang berlomba lomba mendaftarkan anaknya ke sekolah sekolah yang sudah berstatus SBI tersebut dengan berbagai sebab, seperti supaya anaknya mendapat fasilitas yang baik, pengajar yang lebih bermutu, hingga alasan seperti gengsi semata. Masalahnya adalah, untuk sekolah dengan standar SBI, biaya yang dipatok untuk biaya pendaftaran, uang masuk, dan SPP akan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk masuk ke sekolah reguler. Hal inilah yang kemudian menimbulkan diskriminasi dalam hal pendidikan.
Salah seorang anak dari teman orangtua saya, selepas lulus SMP berniat untuk mendaftarkan diri ke salah satu SMA favorit di Malang yang telah terdaftar sebagai SMA dengan status SBI. Namun, begitu melihat rincian biaya yang harus dibayarkan dia pun mengurungkan niatnya tersebut. Di dalam rincian itu tertulis biaya uang gedung yang berkisar antara 5-15 juta rupiah. Akhirnya ia pun memilih untuk mendaftar di SMA lain, tanpa embel embel SBI atau RSBI dikarenakan biaya yang dikenakan untuk uang gedung maupun SPP jauh lebih murah dibandingkan sekolah sekolah SBI/RSBI. Saat ini SBI seakan berganti singkatan menjadi Sekolah Bertarif Internasional, ataupun Sekolah Besar Iuran. Bahkan, mengutip salah satu perkataan kepala sekolah SMA tersebut, “...kalau ada moto jer basuki mawa bea (setiap kesuksesan butuh pengorbanan), maka pengorbanan orangtua untuk pendidikan di era globalisasi itu ya.. biaya seperti ini,”
Kasus di atas menunjukkan secara jelas bahwa masih ada diskriminasi pendidikan terhadap orang miskin. Padahal, anak tersebut bisa jadi memiliki kemampuan yang sama atau bahkan lebih unggul daripada anak anak yang diterima di sekolah SBI , namun dikarenakan kemampuan ekonominya yang jauh di bawah mereka, dia tidak bisa ikut mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama. Hal ini tentunya menyalahi hak hak anak, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 UUPA No. 23 Tahun 2002 bahwa : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Berdasarkan pada hal tersebut, maka seharusnya setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan yang sama dan pemerintah harusnya dapat menyediakan pendidikan tanpa membeda bedakan status sosial maupun ekonomi. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka masyarakat miskin hanya akan mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang seadanya. Ditambah dengan trend sekolah sekolah yang ingin menaikkan statusnya sebagai SBI/RSBI, maka masyarakat miskin akan semakin sulit untuk mendapat akses pendidikan.
Zamzamiyah Fatihuddin
11/312106/SP/24491
DISKRIMINASI DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Nampaknya diskriminasi sosial tidak hanya berkutat pada urusan gender, ras, suku, dan lain – lain. Namun diskriminasi ini juga tampak di lingkungan pendidikan salah satunya saya mengambil objek diskriminasi ini di lembaga pendidikan SMP SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta. Bentuk diskriminasi yang akan saya paparkan adalah diskriminasi hak untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang merata dan didukung kesempatan pengembangan kemampuan dan kecerdasan. Kita bisa lihat ketika siswa – siwa Olimpiade dan siswa – siswa yang reguler belajar di pendidikan ini. Bagi anak – anak olimpiade mereka mempunyai kesempatan dan peluang yang besar untuk mendapat perhatian khusus dalam hal pelajaran yang mereka fokuskan. Dan mereka selalu menjadi kebanggaan para guru ketika dalam proses belajar dan mengajar. Kecenderungan para guru untuk memberi tugas dan pertanyaan secara khusus kepada anak olimpiade dari pada memberikan pertanyaan secara merata kepada seluruh peserta didiknya nampak terlihat jelas.
Sehingga status quo yang terjadi terhadap psikologi siswa – siswa yang dianggap reguler ada perasaan rendah diri dan kecenderungan untuk patah semangat dan menjadi malas ketika kemampuan mereka diragukan. Padahal, menurut pengamatan saya sendiri siswa – siswa reguler tersebut tidak masuk dalam komunitas anak olimpiad bukan karena keterbatasan otak mereka berfikir namun hanya butuh dorongan semangat yang lebih. Terlihat dalam kehidupan sehari – hari mereka yang tinggal di asrama, mereka rata – rata siswa yang kritis dan cerdas. Hanya saja berbeda kapasitas semangat dan ketertarikan terhadap minat studi olimpiade yang ada.
Selain hal tersebut, bagi anak – anak olimpiade yang tinggal di asrama mereka mempunyai self study ( belajar mandiri ) di sore hari yang diadakan di ruang kelas dan ada pembimbing masing – masing. Sedangkan siswa – siswa reguler bisa mereka ekstrakulikuler atau bisa mereka santai – santai di kantin sekolah, mereka bebas menentukan aktivitas mereka sendiri. Tidak cukup sampai disitu mereka siswa –siswa olimpiade yang tinggal di asrama mempunyai ruang kelas tersendiri yang dibedakan untuk mereka belajar malam didampingi pembina asrama. Dan juga mereka mempunyai hak untuk ekstra etut ( belajar tambahan ) di malam hari yang selain dari pada itu siswa – siswa reguler harus tidur dan berada dikamar untuk istirahat malam.
Dari pengamatan saya ini, bentuk diskriminasi ini bisa diatasi dengan tetap ada pembagian siswa olimpiade dan reguler namun tetap sekali lagi, siswa reguler diberi kesempatan untuk mereka maju dan semangat didukung rasa daya saing yang kuat dengan diberi ekstra tambahan bagi siswa – siswa yang katakan lemah dibidang tertentu. Atau juga mereka diberi kesempatan yang serius mengembangkan skill mereka di ektrakulikuler yang mereka minati dengan serius dan mendapat perhatian penuh dari sekolah. Karena bagi saya tidak ada siswa yang bodoh dan lemah tapi yang ada sistem sekolah / kurikulum yang ada yang butuh dibenahi. Sehingga diharapkan lingkungan pendidikan yang ada mutunya terjamin dengan meratanya sumber daya manusia yang ada dan kompetitif.
Diskriminasi Agama dan Status Ekonomi yang Berujung Konflik Ambon 1999
Julian Francilia Lilihata
11/317933/SP/24815
Cerita mengenai diskriminasi di lingkungan sekitar:
Diskriminasi ialah kesenjangan perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara.[1] Diskriminasi yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Dalam DUHAM/Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya diskriminasi, yaitu perbedaan agama, ras, suku, jenis kelamin, bahasa, pendapat politik, dan lain-lain. Diskriminasi seringkali menyebabkan terjadinya pelanggaran hak-hak tertentu. Dalam pengalaman saya ialah hak untuk hidup, beribadah, dan hak atas rasa aman.
Pada tahun 1999 terjadi kerusuhan di kota Ambon. Penyebab kerusuhan ini ialah konflik yang terjadi berdasar perbedaan agama (masyarakat Kristiani dan Muslim). Konflik ini awalnya bermula dengan terjadinya perkelahian antara salah seorang pemuda Kristen asal Ambon dengan seorang pemuda Islam asal Bugis. Tanpa mempermasalahkan siapa yang awalnya menyerang siapa, kerusuhan ini merembet ke berbagai daerah, termasuk di tempat tinggal orang tua saya di Tehoru. Pada saat itu saya baru berusia sekitar 4tahun menginjak 5 tahun. Kerusuhan yang terjadi ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan materi. Rasa aman juga sulit dirasakan, saya ingat ketika kerusuhan terjadi saya tinggal bersama orang tua saya dalam kamar yang gelap, terus berdoa untuk keadaan yang lebih baik. Banyak tempat ibadah dirusak dan dibakar, sampai saat ini di Tehoru gereja untuk ibadah orang Kristen tidak dapat berdiri karena seringkali gereja yang masih berada dalam proses pembangunan dibom maupun dirusak. Saat terjadi kerusuhan banyak pihak-pihak berkepentingan mengatasnamakan agama membuat konflik semakin parah. Beberapa aktifis RMS/Republik Maluku Selatan melakukan penyerangan dengan mengatasnamakan Republik Maluku Serani(Kristen) sehingga konflik terus terjadi. Diskriminasi dirasakan sebagian pihak karena merasa penduduk dengan agama yang lain mendominasi perekonomian masyarakat dan hidup lebih mapan dari kelompok lain.
Diskriminasi berbasis agama dan keadaan ekonomi ini berlanjut pada konflik dan membuat masyarakat Ambon kehilangan hak untuk hidup, beribadah, dan rasa aman. Masyarakat Maluku kerap kali mudah untuk dipicu konflik dengan isu-isu agama maupun kesenjangan sosial ini. Dengan usaha pemerintah yang lebih menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda ini diharapkan agar konflik semakin berkurang dan masyarakat Maluku bisa terlepas dari stigma negatif daerah yang rawan konflik.
[1]Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor),2008, Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Hukum Hak Asasi Manusia/ Rhona K. M.Smith, at al.--- Yogyakarta:PUSHAM UII.
(Lagi-Lagi) Diskriminasi Gender
Ramadhan Dodi Pratama
11/320073/SP/24941
Kesetaraan hak yang didapat tiap individu menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan karena menyangkut nilai-nilai HAM. Tiap warga negara sudah selayaknya mendapatkan kesempatan untuk memenuhi haknya secara utuh. Namun pada kenyataannya, di era modern seperti sekarang ini, masih saja ada diskriminasi-diskriminasi yang merusak nilai-nilai HAM, khususnya dalam masalah perwujudan kesetaraan hak sebagai warga negara. Tidak perlu sulit-sulit mencari seperti apa diskriminasi yang terjadi, karena contohnya bertebaran di lingkungan sekitar kita. Contoh yang akan saya angkat adalah mengenai persoalan pemberian upah kerja yang diskriminatif terhadap pekerja di kota tempat saya berasal, Bekasi.
Di sebuah perusahaan di Bekasi, terjadi demonstrasi yang dilakukan para karyawan mereka sendiri. Mereka meninggalkan sejenak pekerjaan mereka untuk bisa mengeluarkan suara sebagai bentuk keluhan dan kekesalan yang mereka pendam terhadap perusahaan. Ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan, yaitu bahwa ternyata pekerja yang berunjuk rasa tersebut semuanya wanita. Tentu muncul pertanyaan dibenak kita mengapa hanya pegawai wanita yang melakukan aksi ini. Setelah ditelusuri, ternyata diketahui bahwa mereka menuntut perusahaan tempat mereka bekerja untuk menghapuskan tindakan diskriminatif yang mereka alami dalam hal pemberian upah kerja dan hak-hak yang lain. Pasalnya, selama ini mereka diperlakukan secara tidak adil oleh perusahaan. Dalam jenis pekerjaan dan jam kerja yang sama, para pegawai wanita ini mendapatkan upah berupa gaji yang lebih rendah dibandingkan pegawai pria.
Diskriminasi gender semacam ini harus lebih diperhatikan karena selalu muncul lagi dan lagi di seluruh penjuru negeri ini, bahkan juga di seluruh dunia. PBB mencatat setidaknya sepertiga penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah perempuan. Salah satu penyebab kemiskinan yang terjadi ini adalah kebijakan pemerintah yang tidak pro-gender dan juga sebagai dampak dari kultur masyarakat yang cenderung bersifat represif yang telah tertanam sejak dulu. Karena hal ini telah terjadi, maka ada baiknya kita melihat lagi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”
Referensi:
Langganan:
Postingan (Atom)