Senin, 26 Maret 2012

Diskriminasi di sekolah

Gloria Exoudianta Barus
11/317872/SP/24758
Ketika Etnis Tionghoa Mendominasi
Beberapa tahun terakhir saya tinggal di kota Batam. Saya tinggal di lingkungan yang majemuk, dan sebenarnya secara umum orang-orangnya dapat menerima perbedaan yang ada dengan baik. Di Batam sendiri penduduknya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Penduduk asli Batam beretnis Melayu dan terdapat juga banyak orang beretnis Tionghoa yang berasal dari pulau-pulau di sekitar pulau Batam. Namun saat ini Batam dipenuhi oleh pendatang yang kebanyakan beretnis Batak dan Flores. Selain itu ada juga yang beretnis Padang, Jawa, Sunda, dan etnis lainnya. Di sekolah saya sendiri secara khusus, mayoritas muridnya merupakan etnis Tionghoa yang beragama Buddha.
Kebanyakan orang yang beretnis Tionghoa di Batam berbeda dengan etnis Tionghoa di Jawa. Jika di Jawa orang-orang Tionghoa sudah berakulturasi dengan orang Jawa dan identitas Tionghoanya tidak terlalu tampak, selain dari ciri fisik yang terlihat. Hal ini dapat dilihat di Jawa, orang-orang Tionghoa banyak yang sudah tidak bisa berbahasa Mandarin, dan bahkan lancar berbahasa Jawa. Mungkin karena mereka juga sudah banyak berinteraksi dengan orang pribumi dalam keseharian mereka.
Namun hal yang berbeda saya lihat dari etnis Tionghoa di Batam. Di Batam masih banyak orang Tionghoa yang etnisitasnya sangat terlihat. Banyak orang Tionghoa yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa sehari-hari. Bahkan banyak teman saya di sekolah yang tidak begitu lancar berbahasa Indonesia secara formal.
Hal lainnya adalah, ada beberapa orang Tionghoa hanya bergaul dengan sesama orang Tionghoa. Orang-orang semacam ini juga ada di sekolah saya, meskipun hanya beberapa. Kebanyakan teman saya saling berkomunikasi dengan bahasa mandarin, sehingga saya dan teman-teman lain yang non-tionghoa sering merasa risih karena mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kami mengerti. Kami sering merasa bahwa mungkin saja mereka membicarakan saya namun saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Dari pihak sekolah pun sudah sering mengingatkan agar murid-murid menggunakan bahasa Indonesia di sekolah agar tidak ada pembeda-bedaan, namun mereka tetap saja menggunakan bahasa mandarin. Sebenarnya karena saya sudah terbiasa, saya hanya menghiraukannya. Namun yang sering membuat saya kecewa adalah, karena mereka cenderung bergaul sesama mereka, saya menjadi agak canggung untuk bergabung dengan mereka. Misalnya saat disuruh untuk membentuk kelompok saat  pelajaran, banyak yang langsung membentuk kelompok sesama orang Tionghoa saja. Oleh karena itu saya menjadi sering merasa terpinggirkan.
Saya juga merasa ada beberapa teman saya yang menyepelekan orang pribumi. Di sekolah saya memang kebanyakan siswa yang berprestasi adalah orang tionghoa. Sehingga jika pada akhir semester biasanya pada upacara bendera kepala sekolah memanggil juara-juara kelas ke depan, maka berjejerlah orang-orang tionghoa berkulit putih. Pada kelas 2 SMA saya menjadi juara kelas dan ikut dipanggil ke depan, dan kemudian ada seorang teman saya berkata “eh Gloria item sendiri”. Mungkin maksud dari teman saya hanya bercanda, tapi sejujurnya saya merasa agak tersinggung dengan pernyataan tersebut.
Kemudian ada lagi yang berkata “Bisa juga ya dia ngalahin orang Cina”. Saya di satu sisi merasa bangga karena saya bisa meruntuhkan dominasi orang Cina. Namun di sisi lain saya merasa tersinggung karena berarti selama ini banyak orang yang menganggap bahwa orang tionghoa lebih pintar dari pribumi, bahwa mereka berada di atas orang pribumi. Mungkin kalimat tersebut hanyalah sebuah celetuk dari teman saya, namun saya merasa bahwa hal ini juga termasuk diskriminasi. Meskipun memang pada kenyataannya di sekolah saya lebih banyak orang Cina yang berprestasi, namun menurut saya tidak sebaiknya orang mempunyai stereotip bahwa hanya orang Cina yang bisa berprestasi.

0 komentar:

Posting Komentar