Diskriminasi Pendidikan
Treviliana Eka Putri 11/317810/SP/24700
Kota Malang merupakan salah satu kota yang dijuluki sebagai kota pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah institusi pendidikan di kota Malang, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Ketika semakin banyak sekolah didirikan, maka semakin tinggi pula tingkat persaingannya. Karena itulah saat ini banyak sekolah yang menawarkan berbagai program, termasuk SBI atau Sekolah Bertaraf Internasional. Sebelum menjadi SBI sendiri juga terdapat tahap tahap yang harus dipenuhi oleh sekolah sehingga disebut sebagai RSBI atau Rancangan Sekolah Bertaraf Internasional.
Sekolah yang sudah termasuk sebagai SBI dikatakan memiliki program program pembelajaran yang lebih baik dan dilengkapi dengan sarana prasarana yang jauh lebih memadai dibandingkan dengan sekolah reguler atau non-SBI. Oleh karena itu banyak sekali orangtua siswa yang berlomba lomba mendaftarkan anaknya ke sekolah sekolah yang sudah berstatus SBI tersebut dengan berbagai sebab, seperti supaya anaknya mendapat fasilitas yang baik, pengajar yang lebih bermutu, hingga alasan seperti gengsi semata. Masalahnya adalah, untuk sekolah dengan standar SBI, biaya yang dipatok untuk biaya pendaftaran, uang masuk, dan SPP akan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk masuk ke sekolah reguler. Hal inilah yang kemudian menimbulkan diskriminasi dalam hal pendidikan.
Salah seorang anak dari teman orangtua saya, selepas lulus SMP berniat untuk mendaftarkan diri ke salah satu SMA favorit di Malang yang telah terdaftar sebagai SMA dengan status SBI. Namun, begitu melihat rincian biaya yang harus dibayarkan dia pun mengurungkan niatnya tersebut. Di dalam rincian itu tertulis biaya uang gedung yang berkisar antara 5-15 juta rupiah. Akhirnya ia pun memilih untuk mendaftar di SMA lain, tanpa embel embel SBI atau RSBI dikarenakan biaya yang dikenakan untuk uang gedung maupun SPP jauh lebih murah dibandingkan sekolah sekolah SBI/RSBI. Saat ini SBI seakan berganti singkatan menjadi Sekolah Bertarif Internasional, ataupun Sekolah Besar Iuran. Bahkan, mengutip salah satu perkataan kepala sekolah SMA tersebut, “...kalau ada moto jer basuki mawa bea (setiap kesuksesan butuh pengorbanan), maka pengorbanan orangtua untuk pendidikan di era globalisasi itu ya.. biaya seperti ini,”
Kasus di atas menunjukkan secara jelas bahwa masih ada diskriminasi pendidikan terhadap orang miskin. Padahal, anak tersebut bisa jadi memiliki kemampuan yang sama atau bahkan lebih unggul daripada anak anak yang diterima di sekolah SBI , namun dikarenakan kemampuan ekonominya yang jauh di bawah mereka, dia tidak bisa ikut mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama. Hal ini tentunya menyalahi hak hak anak, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9 UUPA No. 23 Tahun 2002 bahwa : (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Berdasarkan pada hal tersebut, maka seharusnya setiap anak berhak mendapatkan akses pendidikan yang sama dan pemerintah harusnya dapat menyediakan pendidikan tanpa membeda bedakan status sosial maupun ekonomi. Apabila hal ini terus dibiarkan, maka masyarakat miskin hanya akan mendapatkan pendidikan dengan fasilitas yang seadanya. Ditambah dengan trend sekolah sekolah yang ingin menaikkan statusnya sebagai SBI/RSBI, maka masyarakat miskin akan semakin sulit untuk mendapat akses pendidikan.
0 komentar:
Posting Komentar