Elisabeth Winda Alfanisa
11/312377/SP/24538
Semasa saya masih bersekolah di SD saya, dan sekolah saya pernah menerima diskriminasi. Saya bersekolah di salah satu sekolah Kristen di kota saya. SD saya tersebut adalah SD yang cukup ternama dan salah satu SD favorit yang terletak di tengah kota. Banyak kompetisi yang SD saya menangi, mulai dari kompetisi akademis dan kompetisi non akademis. Namun ada hal yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan para guru SD pada masa itu mengenai kemenangan yang diraih SD kami dan SD swasta lainnya.
Saya pernah beberapa kali mengikuti lomba solo vocal dan macapat (menyanyikan tembang Jawa) di tingkat kota sampai tingkat karesidenan. Sebelum mewakili di tingkat karesidenan maupun ke tingkat yang lebih tinggi, saya harus melewati beberapa perlombaan di tingkat kecamatan dan kota. Namun hal yang janggal saya rasakan ketika mengikuti lomba di tingkat yang semakin tinggi (kota dan karesidenan), SD saya tidak pernah mendapat juara 1, padahal menurut guru-guru yang menilai, kualitas vocal SD lawan kurang dibanding dengan SD saya. Setelah saya perhatikan dan mendengar secara langsung desas-desus yang terjadi diantara guru-guru, ternyata SD swasta yang lain pun mengalami hal yang sama. Tidak hanya SD swasta Kristen, namun juga yang berbasis Islam pun mengalami hal yang sama.
Semasa itu, dinas pendidikan, kesenian, dan olah raga di kota saya memprioritaskan sekolah negeri untuk mewakili kota saya dalam kompetisi di tingkat karesidenan, kabupaten, maupun di tingkat yang lebih tinggi. Sekolah negeri dipandang lebih mampu mewakili kota darimana kita berasal dibandingkan sekolah swasta yang dipandang hanya mawakili suatu golongan, kelompok atau institusi tertentu saja.
0 komentar:
Posting Komentar