Minggu, 25 Maret 2012

"Menghormati", Bentuk Diskriminasi



Ini adalah kejadian yang saya alami sendiri saat SMA. Saya bersekolah di sebuah SMA Negeri di daerah Jakarta Barat, dimana di sekolah itu mayoritas muridnya beragama Islam. Setiap bulan ramadhan, semua kios makanan di kantin sekolah tutup karena tidak diperbolehkan berjualan, dan sekeliling kantin ditutupi dengan spanduk. Setiap anak yang ingin makan harus makan di kantin itu, tidak boleh di tempat lain, dan akhirnya yang berjualan di kantin pun hanya murid-murid dari kelompok rohani yang lain.
Suatu hari adik kelas saya merasa lapar tetapi makanan di kantin sudah habis sama sekali, karena jumlah makanan yang dijual sangat kurang dibanding mereka yang ingin membeli makanan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari makan keluar di depan sekolah dimana memang banyak orang berjualan karena ada juga SD dan SMP disebelah SMA saya. Lalu ada seorang guru saya yang sedang keluar lalu melihat dia makan. Guru itu menanyakan agama adik kelas saya dan ketika tahu bahwa adik kelas saya non-muslim, guru itu  memarahinya habis-habisan. Dikatakan bahwa dia tidak menghormati mereka yang puasa, bisa-bisanya makan disaat yang lain sedang berpuasa. Adik kelas saya tentu bingung, memang kenapa? Banyak orang disekitar sana pun sedang makan semua. Dia juga merasa tidak bersalah karena toh tidak makan di kelas atau mengajak temannya yang sedang berpuasa misalnya. Merasa kesal, tentu. Tetapi akhirnya adik kelas saya memilih diam dan mendengarkan saja.
Menurut saya, tindakan yang demikian adalah bentuk diskriminasi. Yang perlu diingat adalah bahwa saya bersekolah di sekolah negeri, yang tidak didasarkan pada satu agama mana pun tidak seperti sekolah Katolik atau Islam misalnya, yang sedari awal bahkan sudah dihimbaukan kepada orangtua maupun peserta didiknya bahwa yang diterapkan adalah ideologi agama tertentu dengan segala tata caranya. Maka seharusnya semua diperlakukan sama. Jika berbicara mengenai menghormati mereka yang puasa, toh adik kelas saya tidak makan di kelas di depan muka teman-temannya, dan yang diluar sana pun banyak yang juga sedang makan, karena faktanya, memang tidak semua orang di Indonesia sedang berpuasa toh? Jika ingin berbicara mengenai menghormati, agama lain pun mempunyai bulan-bulan dimana mereka juga berpuasa, namun, apakah kantin ditutup dan tidak boleh murid makan pada saat itu? Tidak. Lantas, apakah karena Islam adalah agama yang mempunyai pemeluk agama mayoritas disana, lalu yang lain harus “mengalah” ? Dimanakah di Undang-Undang Indonesia, jika itu ada, dikatakan demikian? Guru saya baru saja melarang seorang muridnya makan, padahal jelas-jelas setiap orang punya hak bahkan untuk mendapat makanan, dan saya rasa makan adalah kebutuhan dasar manusia. Dan saya rasa, mereka yang tidak berpuasa pun tidak bakal juga makan dengan lahap secara sengaja di depan mereka yang berpuasa. Bahkan teman-teman saya yang berpuasa pun sering bilang bahwa kebijakan sekolah menutup kantin sampai di-cover spanduk pun berlebihan. “Yaampun, kita udah gede kali. Emangnya anak SD, ngeliat orang makan langsung ngiler,” kata seorang teman saya.
Lalu bagaimana menanggapi hal seperti ini? Disaat banyak orang berbeda agama berkumpul menjadi satu, sesungguhnya pun mereka sudah tidak lagi memisahkan diri dan memilih untuk menganggap diri “bagian dari sekolah”. Tetapi terkadang kebijakan seperti yang dilakukan sekolah saya, yang membuat jurang pemisah itu kembali ada. Benarkah mayoritas dapat menyebabkan diskriminasi? Maka menurut saya adalah sangat benar. Dibenarkankah tindakan yang demikian? Sayangnya, setidaknya di sekolah saya, hal itu juga dianggap benar.

Laurensia Anggita Ludmila
11/311467/SP/24391

0 komentar:

Posting Komentar