Minggu, 25 Maret 2012

Delta Anggara Putri
11/311544/SP/24399

Diskriminasi Pembagian Kelas


Secara sederhana, diskriminasi dapat terjadi disekitar kita, bahkan dapat bersumber pada lingkup yang justru mengajarkan kita tentang arti nondiskriminasi. Diskriminasi dalam pendidikan adalah salah satu contoh bentuk diskriminasi yang saya alami di sekolah menengah pertama dulu.

Sekolah saya merupakan salah satu sekolah negeri yang paling diminati di Yogyakarta. Menyandang nama "favorit" dengan taraf internasional pada sistem pembelajarannya. Mencetak anak-anak berprestasi yang mengadu nasib pada ajang Olimpiade Internasional. Namun, siapa yang menyangka bahwa praketk diskriminasi justru dijalankan dalam bentuk pembagian kelas. Terdapat 10 klasifikasi di dalamnya. Siswa dengan prestasi akademik tinggi tentu ditempatkan di kelas satu, sedang yang berprestasi akademik rendah berada di kelas 10 dengan julukan "kelas selebriti".

Pergantian kelas dilakukan tiap beberapa bulannya melalui beberapa tes tertulis, dengan alibi-untuk memantau perkembangan siswa. Namun, hal semacam ini menurut saya, justru menciptakan susana belajar-mengajar yang tidak nyaman dan diskriminan. Pada awalnya saya turut meyakini bahwa dengan adanya klasifikasi seperti ini akan memudahkan dalam proses belajar mengajar, karena daya tangkap seseorang terhadap materi yang diajarkan tentu berbeda-beda. Namun, hal ini justru membawa dampak buruk bagi siswa.

Pada awal periode, hasil yang saya dapatkan tidak begitu baik, kemudian ditempatkan di kelas 6. Untuk menuju kelas tersebut saya harus melewati kelas-kelas unggulan terlebih dahulu. Dan yang terlihat dari kelas tersebut adalah siswa-siswi yang cerdas dan jenius, tengah mendengarkan penjelasan guru dengan saksama.  Sangat jauh berbeda dengan kelas dimana saya berada, yang terkesan santai dan guru yang cenderung 'ringan' dalam memberikan materi pelajaran. Tidak hanya itu, perasaan rendah diri turut melingkupi perasaan hati siswa-siswi yang berada di kelas 'biasa'. Terlebih ketika masing-masing teman bertanya pada teman lainnya di kelas mana mereka ditempatkan. Dan praktek "sombong" pun merajalela.

Menurut saya, sistem pembagian kelas seperti ini justru akan mempertebal perbedaan diantara masing-masing siswa. Terlebih dengan karakter masyarakat yang cenderung gampang berspekulasi pada hal yg belum tentu benar adanya. Misalnya saja, seorang siswa yang ditempatkan di kelas 9 belum tentu ia merupakan siswa yang bodoh, tentu ada banyak faktor seorang siswa kurang berhasil dalam tes penempatan kelas tersebut. Tetapi hal ini bisa menyebabkan ia menjadi dikucilkan dalam pergaulan.

Hal sederhanan seperti yang telah dipaparkan diatas, jika tidak segera ditangani dapat menjadi konflik diantara sesama. Akan lebih baik jika sistem pembelajaran seperti ini dihapuskan, agar proses belajar-mengajar dapat terjadi secara transparan. Bukankah dengan adanya pencampuran kelas justru akan menciptakan suasana belajar yang kompetitif? sehingga masing-masing individu merasa termotivasi untuk maju dan berkembang lebih baik.







0 komentar:

Posting Komentar