Minggu, 25 Maret 2012

Diskriminasi Sekolah


DWI AYU SILAWATI
11/311508/SP/24396

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS Al-Hujurat [49]: 13)

Kisah ini merupakan pengalaman pribadi saya saat masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Saat itu, orang tua saya menyekolahkan saya di sebuah TK Kristen dengan pertimbangan jarak yang dekat. Namun, selama saya bersekolah di sana selama dua tahun , saya tidak memiliki banyak teman. Saya hanya sempat memiliki dua teman baik. Sedangkan teman-teman lain tidak begitu simpatik pada saya. Saat teman-teman lain bermain, saya dan satu teman saya tidak pernah diajak bergabung. Puncaknya ketika satu teman saya itu pindah sekolah
Selain itu, karena merupakan sekolah milik yayasan kristen, sekolah itu hanya mengajari cara berdoa cara Kristen, sehingga sebelum dan sesudah kelas berlangsung kami berdoa dengan cara Kristen serta merayakan Natal.  Padahal saya sendiri beragama Islam. Saya baru sadar bahwa sebagian besar siswa di sana adalah keturunan Tionghoa. Dan saya dan satu teman saya sebagai siswa non-Tionghoa dianggap sebagai orang asing atau mungkin aneh bagi mereka. Namun, saya salut pada semua staf guru di sana yang senantiasa bersikap netral dan adil pada semua murid tanpa memandang ras atau sukunya. Mereka memperlakukan kami yang non-Tionghoa dengan adil , sama dengan siswa lain.  
Lain cerita dengan adik saya yang juga bersekolah di sana , tepat setelah saya lulus dan melanjutkan ke Sekolah Dasar. Tepat saat adik saya mulai bersekolah di sana, ia bisa mendapatkan pelajaran pendidikan agama Islam. Sekolah itu juga mulai terbuka dan siswanya beragam, tidak lagi didominasi siswa keturunan Tionghoa. Dengan kata lain, adik saya masuk di saat yang tepat, ia cukup beruntung karena tidak mengalami diskriminasi.
Diskriminasi tidak hanya terjadi di sekolah itu. Sampai sekarang masih banyak fenomena yang menunjukkan adanya hambatan untuk hidup secara rukun dengan warga yang berlainan etnis atau suku. Contohnya di lingkungan tempat tinggal saya di daerah Malang, Jawa Timur. Di sini kami memang tinggal berdampingan dengan banyak suku , mulai dari Jawa, Sumatra, Bali, Cina, bahkan warga negara asing asal negara lain.  Secara umum, kehidupan di sini cukup harmonis. Kami juga sering mengadakan acara  tasyakuran bersama dalam momen-momen tertentu, misalnya saat Hari Kemerdekaan. Silaturahmi , saling mengucapkan selamat saat hari raya agama masing-masing, saling membantu saat ada acara tertentu merupakan hal yang lumrah kami lakukan.
Sayangnya dalam hal pendidikan, saya merasa, kami masih tersegregasi. Warga keturunan Tionghoa cenderung memilih sekolah swasta yang dikelola yayasan Kristen atau -Katolik. Mereka tampak enggan bergabung dengan teman-teman yang bukan berasal dari keluarga Tionghoa. Sementara sekolah negeri masih didominasi WNI yang beragama Islam. Meskipun hal ini tidak serta merta menyulut konflik, tetapi akan semakin memperjelas jurang antara satu suku dengan suku lain.



0 komentar:

Posting Komentar