Minggu, 25 Maret 2012

KURANGNYA FASILITAS TERHADAP MASYARAKAT BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SURABAYA

                                                                                                                                        Ario Bimo Utomo
11/311541/SP/24398

            Saya merupakan penduduk sebuah kota besar di Indonesia, yakni Surabaya. Masyarakat Surabaya dikenal memiliki heterogenitas yang cukup tinggi ditinjau dari segi etnis, bahasa, serta agamanya. Sehingga cukup menyulitkan bagi saya apabila harus mencari wujud nyata diskriminasi dari sektor-sektor tersebut.
            Namun, saya menemukan sebuah hal yang patut disayangkan dari status Surabaya sebagai suatu kota besar. Hal tersebut adalah minimalnya fasilitas bagi masyarakat yang berkebutuhan khusus (difabel). Ini cukup menjadi sorotan, mengingat Surabaya kini tengah berkembang menjadi salah satu kota metropolitan yang cukup maju.
            Minimnya akses terhadap kaum difabel ini dapat kita lihat di beberapa tempat umum seperti rumah sakit dan tempat ibadah. Di Masjid Al-Akbar, misalnya, masjid yang mengklaim diri sebagai yang terbesar di Surabaya ini rupanya tidak memiliki akses bagi kaum difabel yang menggunakan kursi roda, tempat ini hanya menyediakan tangga bagi masyarakat tanpa kebutuhan khusus.[1]
            Hal yang serupa juga terjadi di kawasan pedestrian di seputaran jalan arteri di Surabaya. Di negara-negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan, terdapat jalur khusus yang ditujukan bagi masyarakat tuna netra berupa jalur dengan warna tertentu. Fasilitas ini masih belum ditemui secara meluas di Surabaya, sehingga masyarakat tuna netra di beberapa tempat di Surabaya harus puas menggunakan jalur pedestrian secara berdesakan dengan pengguna jalan normal lainnya. Belum lagi kurangnya perlindungan khusus terhadap kaum tuna netra apabila ada pengguna motor yang melanggar dengan cara naik ke jalur pedestrian.
            Secara umum, masih ada 1.276 kaum difabel yang belum mendapatkan akses menuju fasilitas umum di kota ini.  Sehingga jangankan untuk terlibat lebih dalam aktivitas sosial, mobilitas mereka sehari-hari pun masih kurang bebas. Pemerintah seharusnya mampu memberikan aksesibilitas terhadap lingkungan fisik baik di perumahan, bangunan, pelayanan transportasi, jalan raya dan lingkungan luar ruangan.[2] 
            Sebaiknya, pemerintah kota mampu memberikan perhatian lebih terhadap kaum difabel di Surabaya, sebagaimana telah diatur dalam konstitusi, yakni UU Nomor 4 Tahun 1997 mengenai penyandang cacat. Khususnya poin kelima dari pasal keenam yang berbunyi: Setiap penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.[3]


[1] http://cakfu.info/2011/12/revitalisasi-gerakan-difabel-di-indonesia/#more-97
[2] http://www.bk3sjatim.org/pelayanan-publik-berperspektif-difabel/
[3]  Undang – undang Nomor 9 Tahun 1997

0 komentar:

Posting Komentar