Minggu, 25 Maret 2012

Diskriminasi Sosial Tingkat Desa

M. Angga Krisna
11/311749/SP/24428

Praktik diskriminasi tidak saja terjadi pada tingkat pemerintah, institusi, maupun lembaga lainnya. Diskriminasi dapat terjadi di lingkungan sekitar kita, tidak perlu dikaji dengan teori-teori ataupun definisi tentang diskriminasi, kita dapat melihatnya dengan jelas dan ironisnya kadang sebagian dari kita justru membiarkannya. Contoh yang akan saya kemukakan disini adalah diskriminasi yang terjadi di desa tempat saya tinggal.
Tahun 2003 saya pindah dari Jakarta menuju desa tempat saya tinggal sekarang, karena saya berasal dari kota besar saya harus beradaptasi dengan lingkungan baru yang sangat berbeda. Pada awalnya saya melihat bahwa masyarakatnya baik dan ramah, saya masih berumur 10 tahun pada saat itu, sehingga saya belum terlalu kritis melihat keadaan. Baru setelah saya menginjak bangku SMP saya merasakan adanya diskriminasi yang terjadi di desa saya dan lebih parah lagi keluarga saya yang menjadi sasaran diskriminasi.
Akar permasalahannya adalah, warga di dusun saya merupakan suatu keluarga besar, sehingga dapat dikatakan seluruh warga merupakan saudara yang lumayan dekat. Keluarga saya, yang merupakan pendatang baru, tidak diterima dengan baik di dalam komunitas dusun saya. Secara sekilas memang tidak tampak, seperti: tidak diundang dalam rapat warga; pengurusan surat-surat pindahan yang dipersulit di tingkat RT; dan lain sebagainya. Hal yang menarik disini adalah, semua bentuk pendiskriminasian yang keluarga saya alami tiba-tiba hilang ketika warga dusun saya tahu bahwa kakak ipar ibu saya masih memiliki hubungan saudara dengan tetua di dusun saya. Jelas sekali tergambarkan disini bahwa apa yang keluarga saya alami adalah diskriminasi yang disebabkan keluarga saya tidak memiliki hubungan darah dengan warga dusun yang lain.
Akan tetapi, nasib tetangga saya tidak sebaik nasib keluarga saya. Tetangga saya, Wati, adalah seorang janda dengan anak satu, datang ke dusun tempat saya tinggal pada tahun 2000. Beliau tidak memiliki hubungan kerabat dengan siapapun di dusun saya. Selama beliau tinggal disini tidak pernah satu kalipun beliau diundang dalam rapat warga, selama 12 tahun petugas RT hanya satu kali datang untuk melakukan sensus. Beliau tidak mendapatkan jatah BLT, askes, maupun hak-hak lainnya. Pada saat bencana merapi, yang memaksa seluruh warga dusun saya untuk mengungsi, beliau tidak mendapatkan bantuan dikarenakan tidak didaftarkan oleh RT.
Diskriminasi terhadap Wati sampai sekarang belum dapat dihapuskan, tidak ada dorongan cukup dari warga. Hanya sedikit orang yang peduli dengan nasib Wati. Inilah bentuk diskriminasi sosial yang sangat nyata. Tidak perlu melihat jauh, disekitar kita banyak kejadian serupa yang terjadi. Tidak cukupnya kepedulian masyarakat akan menyebabkan diskriminasi semacam ini terus terjadi. Mulailah peka terhadap lingkungan saat ini juga. Meskipun sedikit, perhatian yang kita berikan terhadap orang yang terdiskriminasi sangatlah berharga.

0 komentar:

Posting Komentar