Senin, 26 Maret 2012

Diskriminasi Etnis dan Tattoo

Krisna Adi Nugroho
11/318839/SP/24911
Kisah mengenai perlakuan diskriminasi ini terjadi pada seorang teman saya berinisial AD. Teman saya ini merupakan etnis tionghoa yang berasal dari solo. Ia pernah menceritakan bagaimana kerusuhan 1998 yang terjadi di solo merubah hidup keluarganya. Sebelum itu, keluarganya memiliki Toko yang cukup besar dan sukses. Keluarganya bisa dikatakan berkecukupan. Ketika kerusuhan terjadi, keluarganya pun terkena dampaknya. Meskipun orang orang di lingkungannya melindungi keluarganya,dikarenakan keluarganya memang cukup baik terhadap orang lain, namun keluarganya tetap mendapat cemoohan dari masyarakat yang tidak menerima kehadiran etnis Tionghoa di Solo. Untuk melindungi Tokonya, di depan pintu dipasangi “Toko Pribumi” .Bahkan pasca kerusuhan tersebut, usaha Tokonya terbilang tersendat. Dikarenakan sentiment masyarakat yang kurang menghargai etnis tionghoa saat itu. Hingga akhirnya membuat kedua orangtuanya berpisah dikarenakan sang ayah tidak dapat membiayai keperluan anak anaknya. Hal ini menunjukkan bagaimana parahnya diskriminasi etnis di era soeharto hingga awal reformasi. Beruntunglah, saat ini diskriminasi semacam ini tidak sebegitu buruk dibandingkan jaman dahulu. Masyarakat saat ini mulai menyadari bagaimana untuk menghargai dan hidup berdampingan dengan orang orang yang berbeda ras.
            Diskriminasi yang diterima AD tak hanya berupa diskriminasi etnis. AD memiliki beberapa Tattoo di tubuhnya, Lengan kiri, Punggung, dan Dada. Karena hal tattoo inilah ia juga sempat mendapat perlakuan diskriminatif. Ceritanya bermula ketika saya, AD, dan beberapa teman lainnya berencana menghadiri sebuah pesta di sebuah perumahan. Ketika sampai di portal perumahan, AD turun untuk menanyakan kepada satpam mengenai arah jalan ke alamat blok yang dituju. Namun, ia justru mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari satpam tersebut. Ia dikira seorang preman dan berencana membuat rusuh. Sempat terjadi keributan kecil yang akhirnya membuat saya dan beberapa orang turun dari mobil untuk menenangkan dan menjelaskan kepada satpam maksud kedatangan kami. Satpam pun mengerti dan menjelaskan bahwa dia mengira AD adalah seorang preman dilihat dari Tattoo yang ia miliki. Sebuah hal yang sebenarnya tidak pantas dijadikan tindakan diskriminatif. Mungkin, hal ini adalah efek dari stigma masyarakat Indonesia kebanyakan, yang berpikir Tattoo adalah hal yang lekat dengan hal hal negatif. Pola pikir sempit semacam ini yang membuat masih banyaknya tindakan diskriminatif yang berdasarkan hal hal sepele. Bukankah apa yang tampak dari luar seseorang tidak mencerminkan dari dalam dirinya? Mengapa masyarakat luas belum bisa memahami hal tersebut?

0 komentar:

Posting Komentar