Senin, 26 Maret 2012

Diskriminasi Gender terhadap Perempuan

Pricylia W. (10/296556/SP/23850)


            Salah satu bentuk diskriminasi yang paling umum dalam kehidupan sehari-hari kita adalah diskriminasi gender, dimana dalam berbagai hal kaum wanita cenderung dibedakan, dianggap lebih rendah dan dianggap tidak setara dengan kaum pria. Pembedaan tersebut merupakan suatu bentuk diskriminasi karena pada dasarnya ditimbulkan oleh stereotype yang tidak adil yaitu pandangan bahwa pria lebih unggul, lebih kompeten dan lebih mampu dalam banyak hal, sebaliknya wanita adalah kaum yang lemah yang hanya memiliki peran terbatas dan selalu berada pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Stereotype tersebut mengakibatkan pelabelan negative pada kaum wanita, dimana seringkali wanita diidentikkan dengan sifat lemah, cengeng, penurut, suka digoda, tidak rasional dan emosional sehingga tidak bisa mengambil keputusan penting.
            Beberapa penyebab yang menimbulkan diskriminasi tersebut, di antaranya adalah tata nilai adat dalam masyarakat Indonesia yang pada umumnya lebih mengutamakan laki-laki (ideologi patriaki) dan adanya bias gender bahwa perempuan hanyalah sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan sementara laki-laki adalah pencari nafkah utama. Penyebab lain adalah adanya peraturan perundang-undangan yang cenderung berpihak pada salah gender atau dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender, contohnya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan[1] dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7 tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah[2] dan Pendapatan Non-upah yang menyebutkan bahwa tunjangan tetap diberikan kepada istri dan anak. Dalam hal ini, pekerja wanita dianggap lajang sehingga tidak mendapat tunjangan, meskipun ia bersuami dan mempunyai anak. Contoh lain adalah Perda No.8 tahun 2005 tantang anti pelacuran oleh Pemerintah Kota Tangerang dimana di dalamnya terdapat diskriminasi terhadap wanita terutama dalam pemberlakuan jam malam bagi wanita.[3] Kemudian, apakah anti pelacuran hanya bisa dilakukan secara sepihak hanya dengan berlaku jam malam bagi wanita, lalu bagaimana dengan pria? Selain itu, kondisi-kondisi darurat bagi wanita tidak diperhitungkan dan peraturan ini dapat membatasi para wanita yang bekerja hingga larut malam untuk mencari nafkah. Alasan selanjutnya adalah terdapat norma dari suatu agama yang memposisikan laki-laki diatas perempuan seperti kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami dan semacamnya.
            Alasan-alasan tersebut membuahkan ketidakadilan multidimensional bagi kaum wanita baik dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di berbagai bidang seperti sipil-politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ketidakadilan tersebut dapat terwujud dalam bentuk fisik maupun non fisik. Contoh fisik dapat berupa KDRT, pelecehan seksual, pemerkosaan, eksploitasi seks dan pornografi sedangkan contoh non fisik diantaranya adalah pengesampingan posisi dan peran,subordinasi (pandangan dan perlakuan bahwa wanita ada di bawah pria), stereotyping/bias gender serta beban ganda dalam rumah tangga yaitu pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan juga wanita karier dimana peran reproduksi kerap diremehkan karenai dianggap peran yang statis dan permanen.
            Bentuk diskriminasi gender dalam hal stereotype, adalah saat wanita merokok maka dianggap nakal, bermasalah, dan lain-lain. Sedangkan merokok bagi pria justru dianggap sebagai bentuk kejantanan, kebanggan dan harga diri[3]. Lalu, subordinasi dapat dilihat dari kenyataan bahwa tenaga kerja wanita kebanyakan ditempatkan pada tugas-tugas administrasi ringan dengan bayaran lebih rendah. Ditambah lagi, stereotype bahwa wanita identik dengan “penampilan menarik” seringkali dicantumkan sebagai kriteria pada suatu lowongan pekerjaan. Selain itu, contoh lain belum terwujudnya kesetaraan gender dapat dilihat dari minimnya kiprah perempuan sebagai tokoh pengambil keputusan dalam suatu perusahaan maupun intansi politik.

0 komentar:

Posting Komentar