Minggu, 25 Maret 2012

Diskriminasi dalam Proses Pembuatan E-KTP

Nama               : Meilinda Sari Yayusman
NIM                : 11/312161/SP/24501

            Tanpa disadari diskriminasi telah banyak hadir di dalam kehidupan masyarakat, baik secara langsung terlihat di depan mata ataupun yang secara tidak sadar suatu peristiwa yang terjadi di lingkungan kita merupakan sebuah tindakan diskriminasi. Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination melahirkan 25 pasal dimana dalam pasal 1 memaparkan secara jelas mengenai definisi dari Diskriminasi Rasial, yakni ‘Setiap pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pilihan yang didasarkan pada suku bangsa, warna kulit, keturunan atau asal bangsa atau asal suku yang mempunyai tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan pada dasar persamaan, hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki dalam politik, ekonomi, sosial budaya atau sesuatu bidang kehidupan masyarakat’.[1] Definisi ini akan menjadi landasan bahwa sebuah peristiwa yang terjadi di lingkungan saya merupakan salah satu bentuk diskriminasi.
            Proses pembuatan E-KTP. Dalam pembuatan e-ktp ini, saya menemukan adanya praktik diskriminasi terhadap status sosial yang dimiliki oleh warga setempat. Mengapa? Hal ini terjadi pada saat para penduduk berkumpul di salah satu kelurahan di Jawa Barat untuk membuat e-ktp. Penduduk yang berkumpul ini merupakan orang-orang yang sudah mendapatkan undangan dari kelurahan setempat untuk melakukan proses pembuatan e-ktp yang mencangkup rekam sidik jari, scan retina mata, foto, dan tanda tangan.[2] Proses ini memang memakan waktu yang cukup lama, sehingga para warga pun harus bersabar menunggu giliran dipanggil berdasarkan nomer urut yang sebelumnya telah diambil oleh warga. Namun, bagaimana jika terdapat segerombolan keluarga yang memiliki status sosial ‘tinggi’ tiba-tiba datang melakukan proses pembuatan e-ktp tanpa mengantre sedangkan banyak warga yang sudah lebih dari 8 jam mengantre belum kunjung dipanggil? Ini saya anggap sebagai salah satu bentuk diskriminasi dimana ratusan orang mengantre dari pagi hingga malam hari untuk mendapatkan giliran pembuatan e-ktp sedangkan sebuah keluarga yang terkenal memiliki status sosial lebih tinggi dan memiliki kenalan di dalamnya langsung mendapatkan giliran masuk untuk proses pembuatan. Dalam satu hari itu, bukan hanya satu keluarga saja yang ditemukan ‘menyelak’ antrean. Ada sekitar lima sampai sepuluh keluarga yang rata-rata terdiri dari empat sampai lima orang diperdahulukan masuk sedangkan kami masih mengantre di luar selama berjam-jam.
            Proses pembuatan e-ktp dimana banyak warga lain yang tidak mengantri karena mempunyai status sosial yang lebih tinggi dianggap menyalahkan salah satu pasal CERD yaitu pasal 5 tentang pencapaian hak-hak yang sama dan tidak diskriminatif dimana setiap warga berhak mendapatkan pelayanan publik yang sama.[3] Peristiwa yang saya temukan di kampung halaman ini  menuai banyak protes warga setempat yang juga memiliki kepentingan lain selain mengantre pembuatan e-ktp tersebut, sehingga diharapkan kedepannya pemerintah setempat dalam pembuatan e-ktp dapat menjalankan proses sesuai prosedur yang telah disosialisasikan kepada warga sebelumnya.


Source :
[1] E.I. Jusuf, ‘Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Sebuah Kajian Hukum Tentang Penerapannya di Indonesia’, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, <www.elsam.or.id/pdf/.../Konvensi_Anti_Diskriminasi_Rasial.pdf>, diakses pada 24 Maret 2012.
[2] KEMKOMINFO, ‘Proses Pembuatan E-KTP’, E-KTP(online), 2012, <http://www.e-ktp.com/2011/06/proses-pembuatan-e-ktp/>, diakses pada 24 Maret 2012.
[3] OHCHR, ‘International Convention of the Elimination of All Forms of Racial Discrimination’, OHCHR(online), 1969, <http://www2.ohchr.org/english/law/cerd.htm>, diakses pada 24 Maret 2012.

0 komentar:

Posting Komentar