Senin, 26 Maret 2012

Stasiun Tugu: Diskriminasi Lahan Parkir


Indriani Pratiwi
11/317754/SP/24647

           
            Sepeda motor merupakan kendaraan yang umum dan banyak digunakan oleh penduduk kota Yogyakarta. Setiap lapisan masyarakat, dapat memandang sepeda motor sebagai pilihan alat transportasi yang murah dan mudah digunakan. Oleh karena itu, tak heran apabila jumlah kepemilikan kendaraan ini meningkat tiap tahunnya.
            Dapat dilihat bahwa ada kebutuhan atau kepentingan yang dimiliki penduduk kota untuk memilih menggunakan sepeda motor. Sebagian besar dari mereka mungkin berasal dari penduduk menengah dan menengah-ke-bawah yang melihat transportasi ini sebagai jawaban yang sesuai dengan kondisi financial mereka. Pemerintah dan perusahaan pun turut andil dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi kepemilikan sepeda motor, seperti minimnya pembatasan dan adanya sistem kredit yang semakin ringan.
            Namun dalam praktiknya, terdapat satu sektor penting pemerintah kota yang belum mampu mengakomodasi kebutuhan para pengguna sepeda motor, bahkan dapat dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif. Pada pintu masuk kedatangan Stasiun Tugu (yang menghadap Jalan Mangkubumi), pengantar akan langsung diarahkan ke boks tiket parkir yang kemudian menuju lahan parkir. Pengguna kendaraan roda empat akan membayak riket sebesar Rp2500,00 sebelum kemudian masuk ke dalam menuju lahan parkir mobil yang berada dekat dengan pintu masuk untuk mengantar penumpang kereta api. Sedangkan pengguna motor akan diarahkan untuk berbelok ke kanan, ke tempat khusus parkir sepeda motor sebelum boks tiket mobil, dan berkontribusi parkir Rp1500,00 (yang merupakan tariff parkir termahal di kota).
            Permasalahannya adalah, letak parkir sepeda motor berada cukup jauh dari pintu masuk keberangkatan penumpang. Hal ini cukup menyusahkan bagi penumpang dan pengantarnya karena harus berjalan kaki cukup jauh untuk mencapai stasiun. Apalagi – dan ini sering terjadi – saat penumpang membawa cukup banyak barang untuk bepergian. Tentunya hal tersebut sangat menyusahkan. Dari sisi lain, pengguna kendaraan roda empat mendapatkan lahan parkir yang dekat – dan bisa dibilang bersebelahan – dengan pintu masuk keberangkatan penumpang. Padahal, baik pengguna sepeda motor dan mobil sama-sama memberikan kontribusi dalam bentuk tiket parkir, yang seharusnya memberikan keduanya hak yang sama untuk mendapatkan akses yang mudah untuk menuju pintu keberangkatan penumpang. Perbedaan ongkos parkir hanyalah bentuk kompensasi proporsional terhadap ukuran dan besarnya lahan yang akan dipakai, bukannya aksesibilitas lahan. Padahal, besarnya jarak dari tempat parkir menuju pintu masuk juga merupakan sektor keamanan pelanggan yang cukup penting.
            Manajemen lahan parkir yang lebih baik dibutuhkan di sini. Ada rencana untuk maksimalisasi lahan parkir dan integrasi Stasiun Tugu dengan Malioboro, sehingga dapat meningkatkan kapasitas lahan parkir hingga sepuluh kali lipat. Namun, tentunya itu merupakan jangka panjang, dan perlu diingat bahwa pengguna sepeda motor itu ada sekarang, dan membutuhkan kenyamanan sekarang. Sebuah win-win-solution dapat diterapkan dengan menempatkan lahan parkir motor dekat dengan pintu keberangkatan penumpang, berseberangan dengan lahan parkir mobil, dengan konsekuensi, sebagian lahan parkir mobil (misalnya, di ruas sebelah kanan saja) akan tergeser. Dengan demikian, baik pengguna sepeda motor dan mobil memiliki akses kenyamanan yang sama menuju pintu masuk. Apalagi pengantar yang menggunakan mobil kebanyakan juga menggunakan jasa kuli angkut, mengingat jumlah barang yang biasanya mereka bawa (yang sulit bagi pengguna motor karena seringnya barang mereka terlalu banyak untuk dibawa sendiri, namun terlalu sedikit untuk menyewa kuli), sehingga faktor ini pun mempermudah kenyamanan mereka meskipun harus sedikit berjalan kaki.
           

0 komentar:

Posting Komentar