Alvin Thias Aditya
09/280672/SP/23229
Pada masa pemerintahan Orde Baru, keberadaan etnis Cina merupakan masalah yang krusial dalam tatanan pemerintahan Soeharto. Masalah tersebut begitu kompleks bukan saja mengenai identitas kebangsaannya, tetapi juga masalah politik, ekonomi dan kebudayaannya yang berkembang di Indonesia. Citra Etnis Cina akhirnya dinilai memiliki pandangan yang negatif dikalangan pemerintahan Soeharto yang terlihat dalam kebijakan-kebijakannya.
Kebijakan asimilasi ditunjukkan untuk mengasimilasi dan menyerap Etnis Cina ke dalam Penduduk Indonesia. Kebijakan asimilasi ini meliputi penggunaan bahasa Indonesia terhadap nama-nama orang Etnis Cina di Indonesia, dalam hal pendidikan mengenai anak-anak Etnis Cina yang berkewarganegaraan Indonesia untuk masuk sekolah Indonesia, partisipasi politik dengan mengasimilasi organisasi-organisasi yang terbentuk pada zaman Soekarno[1].
Dalam bidang ekonomi, Soeharto memberikan kesempatan kepada keturunan Tionghoa untuk mengembangkan usahanya dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya[2]. Dengan begitu ia membuka pintu Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis dan politik asimilasi total serta menghapus budaya Tionghoa menjadi Etnis Cina, sehingga Etnis Cina dapat menikmati kebebasan ekonomi dan pembatasan berpolitik. Kebijakan yang diterapkan pada zaman Orde Baru masih tetap menghadapi diskriminasi.
Di bidang sosial, pemerintah ingin membentuk sebuah masyarakat multietnis menjadi sebuah bangsa, satu tanah air, satu bahasa. Motto Bhineka Tunggal Ika (Persatuan dalam perbedaan) mengakui berbagai kelompok etnis di Indonesia[3]. Motto tersebut berlaku terhadap minoritas pribumi regional ini tetapi tidak berlaku terhadap etnis Tionghoa. Tujuan kebijakan Indonesia ini adalah menyerap Etnis Tionghoa ke dalam kelompok pribumi.
Kebijakan dalam bidang kebudayaan tidak berhasil dilaksanakan, karena orang-orang etnis Tionghoa masih melestarikan budaya leluhurnya. Dari semua kebijakan asimilasi yang paling berhasil dalam bidang pendidikan. Orang Tionghoa yang berkewarganegaarn Indonesia diharuskan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah Indonesia. Banyak sekolah Cina yang dirubah menjadi sekolah Indonesia. Sebagian besar anak-anak dari peranakan Tionghoa mengenyam pendidikan di Indonesia, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan membatasi jumlah etnis Tionghoa yang berkuliah di Universitas-Universitas Negeri[4]. Pemerintah hanya mengijinkan 10% orang-orang Tionghoa Indonesia untuk masuk Universitas negeri.
[1] http://repository.upi.edu/operator/upload/s_sej_0605773_chapter1.pdf diakses pada tanggal 26 Maret 2012
[3] Idem
[4] idem
0 komentar:
Posting Komentar