Minggu, 04 Maret 2012

Review: The Magna Carta

Jyestha T. Bashsha   11/312075/SP/24485


Magna Carta merupakan perjanjian antara King John dan The Barons yang merupakan perjanjian “kemerdekaan” bangsa Inggris (The Great Charter of Liberties of England). Sebelum penandatanganan perjanjian tersebut, keduanya saling bekerjasama untuk melindungi Inggris, terutama teritorinya. Namun, kesewenang-wenangan King John dalam meregulasi Inggris menghadirkan konflik antara King John dan The Barons sendiri. Penandatanganan Magna Carta merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan perselisihan tersebut yang substansinya membatasi kekuasaan King John dan memaksanya untuk mendeklarasikan liberalisasi terhadap hak asasi manusia bagi rakyat Inggris untuk dapat hidup bebas. 

Karena pengaruhnya, Magna Carta dinilai memelopori lahirnya hak asasi manusia di dunia. Selain pembatasan kekuasaan raja yang menyebabkan adanya konstitusi di pemerintahan, Magna Carta juga memberikan pengaruh pada dokumen-dokumen seperti Bill of Rights yang juga merupakan tonggak hak asasi manusia di dunia. Selain itu, Magna Carta juga menekankan pada pemberlakuan kembali prosedur hukum yang legal pada masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan dalam klausa 29 Magna Carta bahwa: “No Freeman shall be taken or imprisoned, or be disseised of his Freehold, or Liberties, or free Customs, or be outlawed, or exiled, or any other wise destroyed; nor will We not pass upon him, nor condemn him, but by lawful judgment of his Peers, or by the Law of the Land. We will sell to no man, we will not deny or defer to any man either Justice or Right.” 

Kebijakan konstitusi Inggris saat ini pun dapat dinilai tidak berkesinambungan dengan prinsip HAM, terutama dikaitkan dengan klausa 29 Magna Carta di atas. Regulasi yang melegalkan penangkapan seseorang yang dinilai/dicurigai/dirasa merupakan teroris jelas menyalahi Magna Carta. Aksi penangkapan Sheikh Raed Salah, seorang aktifis perdamaian tanpa perang dari Palestina, yang dirasa sebagai anggota dari jaringan terorisme dunia oleh Pengadilan Tinggi London merupakan salah satu bukti bahwa penegakan HAM di tanah kelahirannya sendiri tidak berjalan dengan baik. Terlebih dengan banyaknya protes yang kemudian bermunculan menanggapi aksi penangkapan tersebut. Human Rights Act, organisasi HAM di Inggris, mengecam keras penangkapan Raed Salah yang tidak berdasar pada prosedur hukum yang ada dan menyimpang dari sumber hukum HAM. Berlanjutnya protes atas pelanggaran HAM di atas membuat pemerintah Inggris muak hingga akhirnya Menteri Dalam Negeri Inggris, Theresa May, menginginkan adanya oposisi bahkan pencabutan terhadap Human Rights Act. 

Hal-hal yang mengancam kepentingan dalam negeri Inggris agaknya akan segera disikapi, berbeda dengan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan eksternal negara tersebut. Keputusan yang diambil oleh Theresa May saat itu merupakan salah satu wujud dari penentangan terhadap HAM di dunia. Karena kondisi dalam negerinya dinilai tidak kondusif, dengan dilarangnya deportasi terhadap seseorang yang dicurigai sebagai teroris, May dan Partai Konservatif mengambil sikap oposisi terhadap HAM. Sedangkan intervensi yang dilakukan oleh Inggris saat Arab Spring selalu mengatas namakan HAM di atasnya, padahal tujuan utamanya terletak pada penguasaan sumber daya alam di Timur Tengah. 

Hak asasi manusia merupakan satu nilai yang harus terus dijunjung tinggi untuk menghindari terjadinya intervensi terhadap manusia agar derajat dan martabatnya terjaga. Penegakan dan pelaksanaan HAM seharusnya dilakukan secara utuh, bukan sepihak, hanya internal atau eksternal saja. Negara merupakan aktor yang sangat berpengaruh dalam penegakan HAM di dunia. Namun, apabila penegakkan HAM tidak pernah sejalan dengan kepentingan negara-negara di dunia ini, HAM hanya akan menjadi alasan yang “sopan” bagi suatu negara untuk menguasai negara lainnya yang posisi tawarnya lebih rendah.


Referensi:

0 komentar:

Posting Komentar