Ario
Bimo Utomo
11/311541/SP/24398
Magna
Carta, The Great Charter dalam bahasa
Inggris, ataupun Piagam Agung dalam bahasa Indonesia, merupakan sebuah piagam
penting yang memuat konsep-konsep mengenai Hak Asasi Manusia. Piagam ini dikeluarkan
pada 1215 sebagai reaksi kaum gereja Anglikan terhadap penyalahgunaan kekuasaan
monarki absolut oleh Raja John Lackland dari Inggris.
Piagam
ini pada dasarnya mengandung beberapa perihal tentang pembatasan kekuasaan
raja, serta pengukuhan adanya supremasi hukum di dalam pelaksanaan sistem
kerajaan. Dengan dikeluarkannya piagam ini, raja memiliki kewajiban untuk menghormati
hak-hak rakyatnya dan tata hukum yang berlaku. Kewajiban itu juga meliputi
peraturan pemungutan pajak, perbudakan, prosedur kepolisian, serta perlindungan
hukum[1]
Ditandatanganinya
Magna Carta merupakan sebuah langkah awal yang signifikan dari munculnya sistem
monarki konstitusional, khususnya sebelum era nationstate muncul pasca The Treaty of Westphalia pada abad XVII.
Namun,
di sisi lain, menurut saya Magna Carta juga memiliki sisi yang kontroversial.
Hal yang mencolok adalah fakta bahwa kesepakatan yang diambil ini merupakan
sebuah hasil dari pemaksaan dari kaum aristokrat Inggris terhadap raja[2].
Hal ini merupakan sebuah ironi, karena sebagai piagam yang memuat konsep
tentang kebebasan dan hak individual, Magna Carta rupanya harus diawali oleh
sebuah pengkhianatan terhadap penguasa sendiri, bukan melalui sebuah teknis
diplomasi yang lebih halus.
Dalam
kajian Hak Asasi Manusia dan demokrasi, Magna Carta memegang peranan yang
sangat penting karena dianggap sebagai cikal bakal Hak Asasi Manusia serta
landasan kebebasan individu terhadap kesewenangan penguasa. Dalam
kelanjutannya, Magna Carta umumnya disinergikan dengan Bill of
Rights yang menghubungkan antara konstitusi dengan penegakan hak asasi rakyat
agar terhindar dari kesewenangan kekuasaan.[3].
Pada relevansinya dengan hukum konstitusi di Indonesia,
Magna Carta dapat dipandang sebagai cikal bakal dirumuskannya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengambil salah satu poin dari Magna Carta
yakni mengenai pemrosesan pelaku tindak pidana yang harus melalui sederet tata
cara dan pembuktian, serta pasal 39 mengenai pemutusan tindak pidana dan perlindungan terhadap pelaku pelanggaran hukum yang harus diserahkan kepada negara.
[1] Diantari, Ni Wayan Dyta. 2008. Makalah:
Sejarah Hak Asasi Manusia.
www.emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/
[2]
Tokoh Indonesia – KUHP - Magna Carta, Penjahat?.
www.tokohindonesia.com/publikasi/article/322-opini/3725-kuhp-magna-carta-penjahat-
[3]
Tansey, Stephen D, dan Nigel Jackson. 2008. Politics: The Basics. Oxon:
Routledge.
0 komentar:
Posting Komentar