Muhammad Ikhwan
Hastanto
2011/317916/SP24799
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
sebuah hak fundamental yang dimiliki setiap insan manusia sejak ia lahir. Hak ini berlaku secara universal, bersifat
hakiki, tidak dapat dicabut kapanpun waktunya, tidak dapat dibagi untuk
siapapun orangnya, dan saling tergantung antar satu dan lainnya. Sayangnya, semua yang disebutkan ini tidak
dimengerti dengan baik saat perang dunia kedua sedang berlangsung. Berbagai piagam yang telah dibuat sebelumnya
seolah tidak memiliki arti yang cukup kuat untuk dipatuhi dan didengarkan oleh
aktor peperangan saat itu. Imbasnya, hak
manusia seakan-akan berada di tangan manusia lain.
Ketika perang telah berakhir,
barulah banyak yang menyesalkan mengapa perang bisa terjadi. Salah satunya adalah John Peters Humphrey, anggota
Dewan HAM PBB sekaligus aktivis HAM.
Dibantu oleh beberapa ‘teman’ seperti Eleanor Roosevelt, Jacques Maritain, Rene Cassin, Charles Malik, dan PC Chang, Humphrey
merancang sebuah deklarasi hak asasi yang tidak memandang agama, ras, dan suku
bangsa sehingga mampu menjangkau manusia secara universal. Tanggal 10 Desember 1948 menjadi bersejarah
karena rancangan yang mereka buat akhirnya disahkan pada pertemuan negara
anggota PBB di Palais
de Chaillot, Paris, dengan nama Universal
Declaration of Human Rights.
UDHR,
atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dalam bahasa Indonesia,
terdiri dari 30 pasal. Lima pasal
pertama berisi seputar hak manusia untuk hidup bebas tanpa adanya perbudakan
dan perlakuan yang tidak manusiawi. Lima
pasal kedua berisi seputar hak manusia yang sama di depan hukum. Sepuluh pasal selanjutnya berisi seputar
hak-hak mendasar yang dimiliki manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti
dilarang mencemarkan nama baik, berhak melakukan migrasi negara, mendapatkan
kewarganegaraan, hak untuk menikah dan memiliki keturunan, serta hak
mengeluarkan pendapat. Sembilan pasal
selanjutnya berisi seputar hak manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan
masyarakat, baik itu bekerja, mendapatkan pendidikan, hidup sejahtera, ataupun
ikut dalam kebudayaan dan sistem sosial masyarakat serta menaati hukum setempat
yang berlaku. Satu pasal sisa menegaskan
bahwa deklarasi ini tidak dibuat dengan maksud memberikan hak kepada suatu
kelompok atau individu untuk melakukan tindakan yang dapat merusak semua hal
yang tertuang di dalam deklarasi ini.
Keunggulan
deklarasi ini adalah sifat universal yang dimilikinya, tidak peduli agama, ras,
suku bangsa, wilayah negara, kaya miskin, atau tua muda, semua manusia
mempunyai derajat yang sama. Sayangnya,
keindahan pasal-pasal yang tertulis tidak bisa diimbangi dengan pengamalan yang
dilakukan. Setelah deklarasi ini
diresmikan, peperangan masih belum bisa dihentikan sepenuhnya. Bahkan, Amerika Serikat, salah satu negara
yang ikut membantu perancangan deklarasi melalui Roosevelt, merupakan salah
satu aktor utama dalam peperangan tersebut.
Belum lagi politik apartheid yang terjadi di wilayah Afrika, atau
maraknya Human Trafficking di wilayah
Asia. Hal ini membuktikan bahwa
deklarasi ini belum begitu tertancap dalam sanubari manusia.
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia boleh menjadi saripati dari setiap kehidupan umat
manusia di bumi. Universalitas yang
dimilikinya membuat seorang anak pemulung berkulit hitam mempunyai hak yang
sama dengan seorang anak presiden berkulit putih. Namun, apalah artinya sebuah tulisan apabila
tidak mampu diamalkan secara sempurna dengan perbuatan. Sebuah ironi yang cukup menggelitik ketika melihat perancang deklarasi serta merta menelan ludahnya sendiri. Peristiwa yang menyadarkan kita bahwa hak
asasi manusia tidak cukup hanya diukir dalam secarik kertas, tapi juga harus
ditancapkan dalam-dalam di setiap hati manusia yang membacanya.
Sumber : Universal Declaration of Human Rights 1948
0 komentar:
Posting Komentar