Jumat, 02 Maret 2012

Review : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia


Muhammad Ikhwan Hastanto
2011/317916/SP24799

            Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sebuah hak fundamental yang dimiliki setiap insan manusia sejak ia lahir.  Hak ini berlaku secara universal, bersifat hakiki, tidak dapat dicabut kapanpun waktunya, tidak dapat dibagi untuk siapapun orangnya, dan saling tergantung antar satu dan lainnya.  Sayangnya, semua yang disebutkan ini tidak dimengerti dengan baik saat perang dunia kedua sedang berlangsung.  Berbagai piagam yang telah dibuat sebelumnya seolah tidak memiliki arti yang cukup kuat untuk dipatuhi dan didengarkan oleh aktor peperangan saat itu.  Imbasnya, hak manusia seakan-akan berada di tangan manusia lain.
            Ketika perang telah berakhir, barulah banyak yang menyesalkan mengapa perang bisa terjadi.  Salah satunya adalah John Peters Humphrey, anggota Dewan HAM PBB sekaligus aktivis HAM.  Dibantu oleh beberapa ‘teman’ seperti Eleanor Roosevelt, Jacques Maritain, Rene Cassin, Charles Malik, dan PC Chang, Humphrey merancang sebuah deklarasi hak asasi yang tidak memandang agama, ras, dan suku bangsa sehingga mampu menjangkau manusia secara universal.  Tanggal 10 Desember 1948 menjadi bersejarah karena rancangan yang mereka buat akhirnya disahkan pada pertemuan negara anggota PBB di Palais de Chaillot, Paris, dengan nama Universal Declaration of Human Rights.
            UDHR, atau DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) dalam bahasa Indonesia, terdiri dari 30 pasal.  Lima pasal pertama berisi seputar hak manusia untuk hidup bebas tanpa adanya perbudakan dan perlakuan yang tidak manusiawi.  Lima pasal kedua berisi seputar hak manusia yang sama di depan hukum.  Sepuluh pasal selanjutnya berisi seputar hak-hak mendasar yang dimiliki manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti dilarang mencemarkan nama baik, berhak melakukan migrasi negara, mendapatkan kewarganegaraan, hak untuk menikah dan memiliki keturunan, serta hak mengeluarkan pendapat.  Sembilan pasal selanjutnya berisi seputar hak manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, baik itu bekerja, mendapatkan pendidikan, hidup sejahtera, ataupun ikut dalam kebudayaan dan sistem sosial masyarakat serta menaati hukum setempat yang berlaku.  Satu pasal sisa menegaskan bahwa deklarasi ini tidak dibuat dengan maksud memberikan hak kepada suatu kelompok atau individu untuk melakukan tindakan yang dapat merusak semua hal yang tertuang di dalam deklarasi ini.
            Keunggulan deklarasi ini adalah sifat universal yang dimilikinya, tidak peduli agama, ras, suku bangsa, wilayah negara, kaya miskin, atau tua muda, semua manusia mempunyai derajat yang sama.  Sayangnya, keindahan pasal-pasal yang tertulis tidak bisa diimbangi dengan pengamalan yang dilakukan.  Setelah deklarasi ini diresmikan, peperangan masih belum bisa dihentikan sepenuhnya.  Bahkan, Amerika Serikat, salah satu negara yang ikut membantu perancangan deklarasi melalui Roosevelt, merupakan salah satu aktor utama dalam peperangan tersebut.  Belum lagi politik apartheid yang terjadi di wilayah Afrika, atau maraknya Human Trafficking di wilayah Asia.  Hal ini membuktikan bahwa deklarasi ini belum begitu tertancap dalam sanubari manusia.
            Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia boleh menjadi saripati dari setiap kehidupan umat manusia di bumi.  Universalitas yang dimilikinya membuat seorang anak pemulung berkulit hitam mempunyai hak yang sama dengan seorang anak presiden berkulit putih.  Namun, apalah artinya sebuah tulisan apabila tidak mampu diamalkan secara sempurna dengan perbuatan.  Sebuah ironi yang cukup menggelitik ketika melihat perancang deklarasi serta merta menelan ludahnya sendiri.  Peristiwa yang menyadarkan kita bahwa hak asasi manusia tidak cukup hanya diukir dalam secarik kertas, tapi juga harus ditancapkan dalam-dalam di setiap hati manusia yang membacanya.


Sumber : Universal Declaration of Human Rights 1948

0 komentar:

Posting Komentar