Yoga Tri Waskito Nugroho
11/317758/SP/24651
Magna Carta merupakan salah satu dokumen penting dalam sejarah hak asasi manusia di seluruh penjuru dunia. Istilah Magna Carta sendiri berasal dari bahasa Latin yang dalam Bahasa Inggrisnya berarti “Great Charter” (dalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai perjanjian atau piagam agung). Dokumen ini muncul pada tahun 1215 dan ditandatangani oleh Raja John dari Inggris yang notabene terkenal akan kesewenang-wenangannya terhadap kaum tertindas pada kala itu, sehingga dibuat perjanjian yang memuat tentang pembatasan kekuasaan raja dan menganggap hak asasi manusia lebih penting daripada kedaulatan raja. “Tak seorang pun dari warga negara merdeka dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya, diasingkan atau dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan hukum”.[1] Dari pernyataan itu dapat kita asumsikan bahwa pada era tersebut sudah terdapat tingkat kesadaran yang tinggi akan pentingnya HAM yang selanjutnya berpengaruh besar pada model konstitusi negara-negara lain yang baru merdeka, seperti Amerika yang tertuang dalam Declaration of Independence dan Bill of Rights.
Pada konteks penyusunan Magna Carta sendiri telah merepresentasikan esensi dan sifat dasar dari hak asasi manusia, yaitu ; yang pertama universal, artinya semua manusia berhak untuk mendapatkan hak yang telah melekat pada dirinya sejak lahir dan sudah menjadi kodratnya (hakiki), serta tidak memandang siapapun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dokumen ini sendiri muncul karena adanya ketidakpuasan akan tindak semena-mena penguasa terhadap rakyatnya. Dengan kehadiran Magna Carta, hak-hak rakyat menjadi lebih terjamin dan dilindungi secara sah atau dapat diartikan bahwa mereka telah dihargai sebagai “manusia” dan diperlakukan secara “manusiawi”. Sifat pertama ini sekaligus mencakup sifat dasar kedua yaitu hak yang tidak dapat dicabut karena merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Dan yang terakhir adalah bersifat saling tergantung serta tidak dapat dibagi, dengan kata lain penentuan hak yang satu pasti akan menentukan hak lain, contohya adalah pasal 13 pada Magna Carta yang berbunyi ; The city of London shall enjoy all its ancient liberties and free customs, both by land and by water. We also will and grant that all other cities, boroughs, towns, and ports shall enjoy all their liberties and free customs.[2] Pasal tersebut memang hanya menjelaskan tentang hak memperoleh kebebasan di kota London dan kota yang lain di Inggris, namun secara umum, makna “kebebasan” disini telah mencakup hak-hak yang lain, misalnya hak untuk bebas berekspresi, atau hak untuk memperoleh rasa aman dari tekanan, dll.
Yang perlu dipertanyakan kembali adalah, apakah Magna Carta itu sendiri relevan dengan kondisi sosial-budaya masyarakat di belahan dunia lain? Bagaimana mereka dapat mengimplementasikan nilai-nilai asing dalam kultur budaya mereka yang bisa saja berbeda?, karena menurut Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, “suatu tindakan yang sama jika dilakukan di wilayah yang berbeda, belum tentu hasilnya akan sama pula”. Bila kita kaji lebih jauh mengenai eksistensi masyarakat feodal Asia dan Afrika, mereka mempunyai latar belakang yang cenderung menekankan pada hak-hak masyarakat daripada hak-hak individu, dengan kata lain, yang diutamakan adalah kepentingan masyarakat, bukan kepentingan perorangannya. Pandangaan ini bertentangan dengan pandangan Barat, utamanya pada pasal-pasal yang terkandung dalam Magna Carta yang menyatakan bahwa perorangan merupakan keutuhan yang mandiri dan tidak dapat dibelah-belah, artinya mereka memiliki hak-hak asasi yang mendahului kepentingan masyarakat.[3]
Mari kita kembalikan pada konteks pengertian HAM yang lain. Hak asasi manusia merupakan landasan dasar untuk membangun sebuah masyarakat yang beradab dan manusiawi.[4] Maka dengan ini, tujuan implementasi nilai-nilai HAM adalah mengembalikan “apa yang seharusnya sudah menjadi kodrat manusia”, dan “menuntun masyarakat ke dalam pola hubungan yang lebih teratur”, bukan membunuh nilai-nilai tradisional yang telah ada. Semangat kebersamaan dan dijunjungnya nilai-nilai gotong royong oleh bangsa non-Barat bukan berarti harus menyatukan hak masing-masing individu untuk memperoleh kesejahteraan mereka. Masing-masing individu masih memiliki nilai hakiki yang harus dihormati baik di hadapan individu lain, maupun di hadapan masyarakat, tanpa mengubah nilai dan norma yang telah melekat dalam kehidupan sosialnya.
Lalu bagaimana mengenai eksistensi penegakan HAM di Indonesia sendiri? Tentu negara Republik Indonesia termasuk pemerintah berkewajiban, baik secara hukum maupun secara politik, ekonomi,sosial, dan moral,untuk melindungi, memajukan serta mengambil langkah-langkah konkret demi tegaknya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.[5] Akan sangat luas jika kita mengkaji hal ini lebih dalam, namun secara garis besar pada pembukaan UUD 1945 telah menyiratkan pentingnya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh bangsa di dunia, oleh karenanya segala bentuk penjajahan di atas harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Esensi Magna Carta mungkin memang tidak secara langsung mengalir pada konstitusi hukum kita, tetapi pengaruhnya amat nampak, salah satunya tertuang dalam dasar pemikiran UUD 1945.
[1]Dikutip dari http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/ , tanggal 29 Februari 2012 pukul 13.00 WIB.
[2]Dikutip dari http://www.britannia.com/history/docs/magna2.html , tanggal 29 Februari 2012 pukul 13.00 WIB
[3] Robert Haas, “ Human Rights and The Media ”, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998 ), hal.5
[4] Robert Haas, “ Human Rights and The Media ”, ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998 ), hal.81
[5] Majda El-Muhtaj, M. Hum., “Hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia”, ( Jakarta : Prenada Media, 2005),hal 193
0 komentar:
Posting Komentar