Jyestha T. Bashsha 11/312075/SP/24485
Praktik diskriminasi, khususnya di bidang kesehatan, sangat erat kaitannya dengan kelas sosial suatu masyarakat.[1] Determinasi kelas sosial didominasi oleh dua indikator, yaitu pekerjaan dan pendapatan.[2] Seseorang yang menduduki pangkat tinggi dalam suatu pekerjaan, seperti pejabat daerah atau pengusaha besar, secara tidak langsung akan mendapatkan pelayanan nomor satu. Sebaliknya, seseorang dengan pekerjaan berpendapatan rendah, seperti buruh pabrik, dan/atau seseorang tanpa pekerjaan akan mendapatkan pelayanan yang tidak layak dalam pelayanan kesehatan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pasal 2 ayat 1.[3]
Masyarakat miskin atau masyarakat kurang mampu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2011 berhak mendapatkan Jaminan Sosial Masyarakat (JAMKESMAS). JAMKESMAS merupakan bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan masyarakat kurang mampu yang iurannya dibayarkan oleh pemerintah.[4] Dengan dilaksanakannya JAMKESMAS diharapkan tingkat kesehatan masyarakat meningkat.
Pada praktik pelaksanaannya, sikap petugas pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit umum di Kabupaten Klaten dalam menerima hingga melakukan prosedur pemeriksaan terhadap pasien dengan JAMKESMAS dapat dengan mudah diidentifikasi sebagai tindakan diskriminatif dibandingkan dengan pelayanan yang diberikan terhadap pasien umum. Perlakuan yang kasar hingga “korupsi” prosedur pemeriksaan kesehatan sering kali terjadi, terlebih pada proses-proses pemberian obat dan perawatan tingkat lanjut. Pasien kurang mampu yang seharusnya ditangani secara cepat justru mendapatkan hal yang sebaliknya, baik pelayanan yang lambat atau proses administrasi yang berbelit-belit. Belum lagi penanganan yang terkesan seadanya, sikap petugas kesehatan yang tidak mengayomi pasien, dan pemberian obat generik, yang termasuk obat kelas kedua terbawah, bagi pasien-pasien yang seharusnya mendapatkan obat yang sesuai dengan stadium sakit yang diderita. Hal ini jelas berdampak langsung terhadap kondisi kesehatan pasien dikemudian hari.
Komitmen pemerintah Kabupaten Klaten dan Dinas Kesehatan dalam memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dapat dinilai sangat kurang. Masyarakat kurang mampu, justru tidak mendapatkan hak sesuai yang dijanjikan oleh pemerintah melalui program layanan kesehatan dilihat dari banyaknya masyarakat yang tidak diberi penanganan yang seharusnya ketika pasien tersebut telah divonis menderita penyakit tertentu. Terutama ketika pasien diharuskan menjalani operasi dalam proses penyembuhannya. Karena pasien menggunakan JAMKESMAS, petugas kesehatan lagi-lagi memberikan prosedur yang berbelit-belit bahkan masih memberikan biaya tanggungan yang cukup besar. Terlebih ketika pasien tidak terakomodasi dengan JAMKESMAS dan hanya membawa surat keterangan tidak mampu (SKTM) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pihak rumah sakit tidak segan menolak permohonan pasien tersebut. Survey yang dilakukan pada Desa Gayamprit RT/RW 04/01 menunjukkan rendahnya angka pemakai JAMKESMAS atas alasan tingginya tingkat diskriminasi terhadap pengguna layanan kesehatan tersebut.
Angka harapan hidup (AHH) suatu daerah secara tidak langsung menunjukkan kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kesehatan yang salah satu variabelnya adalah sosial-ekonomi. Berdasarkan data statistik, AHH Kabupaten Klaten berada pada angka 69,0 untuk laki-laki dan 73,0 untuk perempuan. Angka tersebut berada pada batas rata-rata AHH Provinsi Jawa Tengah, yaitu 69,0 untuk laki-laki dan 72,9 untuk perempuan.[5] Dibandingkan dengan D.I. Yogyakarta, gap AHH Kabupaten Klaten dengan D.I. Yogyakarta berada pada angka 2,2 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan.[6] Dari data yang disajikan, dapat disimpulkan faktor-faktor kedaerahan yang mempengaruhi kelas sosial-ekonomi seperti ketersediaan lapangan perkerjaan dan pengembangan usaha kecil menengah (UKM) pada masyarakat. Sehingga, untuk mengurangi terjadinya diskriminasi akibat banyaknya masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan kesehatannya, pemerintah diharapkan mampu membuka lapangan pekerjaan dan mendukung berkembangnya usaha masyarakat kecil menengah.
N.B.: Jenis dan nama rumah sakit dengan sengaja tidak dicantumkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
[1] G. Martin & Myfanwy Morgan, Access to Health Care, Routledge, London, 2003, p. 39
[2] A. Kuper & Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia, Routledge, New York, 2004, p.111
[3] United Nation High Commissioner for Human Rights, ‘International Covenant on Civil and Political Rights’, OHCHR, http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm, diakses 24 Maret 2012
[4] Jaminan Sosial Indonesia, ‘Regulasi Jamkesmas’, JAMSOS.com Indonesia, http://www.jamsosindonesia.com/prasjsn/jamkesmas/regulasi, diakses 24 Maret 2012
[5] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, ‘Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten Kota 2004-2007’, MENEGPP, http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_ docman&task=doc_view&gid=11&tmpl=component&format=raw&Itemid=65, diakses 24 Maret 2012
[6] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, ‘Angka Harapan Hidup Menurut Kabupaten Kota 2004-2007’, MENEGPP, http://www.menegpp.go.id/aplikasidata/index.php?option=com_ docman&task=doc_view&gid=34&tmpl=component&format=raw&Itemid=65, diakses 24 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar