Senin, 05 Maret 2012

Review DUHAM Pernikahan Beda Agama di Indonesia


Redemta Galuh Purbosari
11/312297/SP/24527
 
Review DUHAM
Pernikahan Beda Agama di Indonesia

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, atau yang sering disebut dengan DUHAM, merupakan hasil kesepakatan Negara – Negara anggota PBB mengenai persoalan Hak Asasi Manusia. Deklarasi tersebut selesai dirembug pada tanggal 10 desember 1948 ( selanjutnya diperinngatu sebagai hari HAM ) dengan mendapatkan 48 suara setuju, 0 suara menolak, dan 8 suara abstain[1]. Peraturan mengenai Hak Asasi Manusia, baik itu Hak Sipil dan Politik maupun Hak Sosial, Ekonomi, Budaya tertuang didalamnya. Deklarasi ini menjadi titik awal bagi PBB untuk dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya penghargaan terhadap HAM kepada seluruh Negara di dunia sehingga tidak ada satu individu, suku, maupun Negara yang dilanggar hak asasinya.
Di Indonesia sendiri, berbagai kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi tanpa adanya penyelesaian hukum yang serius hingga ke akarnya. Mulai dari kasus pelanggaran Hak Anak, kasus pembunuhan pegiat HAM Munir, hingga pelanggaran HAM berat seperti kasus Trisakti, Talang Sari, kasus Orang Hilang tahun 1997/1998, kerusuhan Mei 1998, kasus Semanggi I dan Semanggi II serta kasus Wasior di Papua[2]. Penyelesaian hukum dari berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut hanya sebatas angin lalu dan berlarut larut. Pemegang kunci birokrasi dan aparat penegak hukum seolah menutup mata rapat – rapat terhadap kasus tersebut sehingga bangsa ini seolah menjadi bangsa yang hukumnya hanya runcing ke bawah tetapi tumpul keatas.
Ada lagi satu bentuk diskriminasi HAM di Indonesia yang tidak kasat mata, memang tidak seberat kasus Trisakti namun tetap merugikan bagi pihak – pihak yang bersangkutan yaitu, diskriminasi pernikahan beda agama di Indonesia. Dalam pembahasan ini, bukan aspek teologis yang menjadi landasan berfikir melainkan berdasarkan cara pandang Hak Asasi Manusia. Pada kenyataanya belum ada Undang – undang yang mengatur dengan jelas mengenai pernikahan beda agama di Indonesia. Memang garis larangan itu tidak dilukiskan secara jelas namun sebatas tersirat dan itu cukup menimbulkan kesulitan berarti bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan pernikahan. Dimulai dari tekanan keluarga, lingkungan sekitar, agama, hingga tidak ada ketentuan hukum yang mengatur dengan pasti maka Hak Asasi Manusia ( dalam hal ini adalah hak asasi pasangan beda agama ) dipertaruhkan disini.
Pada dasarnya setiap individu bebas untuk menentukan pasangan hidupnya, karena memang itu menjadi bagian dari haknya. Hal ini diperkuat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 ayat (1)yang menyatakan bahwa : Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian. Pada kenyataanya, pasangan beda agama di Indonesia membutuhkan perjuanngan yang tidak mulus untuk mendapatkan sebuah status pernikahan yang sah menurut agama dan Negara. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing – masing agama dan keprcayaan itu. Undang undang tersebut secara tidak langsung memberikan pembatasan dan diskriminasi terhadap hak asasi pasangan yang ingin menikah beda agama .
Meskipun tidak terungkapkan secara frontal, apabila kita mengacu pada deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maka hak asasi pasangan beda agama jelas didiskriminasi dan dipersulit. Pemahaman bahwa pernikahan beda agama merupakan hal yang negatif sehingga menimbulkan diskriminasi diciptakan oleh pandangan subyektif dan terlanjur mendarah daging di Indonesia. Pernikahan tidak dapat dibatasi oleh suku, ras, maupun agama, setiap individu memiliki hak asasi yang penuh atasnya. Negara – Negara di Eropa menjadi tempat pelarian pasangan beda agama karena mereka dapat mendapatkan status pernikahan yang pasti dan tidak dipersulit oleh birokrasi, pandangan subyektif, serta tekanan masyarakat disana daripada di negerinya sendiri Indonesia.
Indonesia merupakan Negara multikultural dengan berbagai perbedaan budaya dan agama yang ada. Setiap harinya masyarakat Indonesia berinteraksi satu sama lain dengan orang yang berbeda agama dan suku, oleh karens itu kemungkinan adanya pernikahan beda agama sangat besar terjadi ( mengingat Indonesia bukan Negara dengan satu agama ). Setiap individu termasuk pemerintah seharusnya menyadari kemajemukan yang ada dan memahami dengan baik bahwa setiap individu memiliki hak asasi yang penuh dan dilindungi dengan hukum untuk menikah dengan pasangannya dengan tidak dibatasi oleh ras, suku, dan agama. Pemerintah sebaiknya perlu mengkaji ulang peraturan perundang – undangan perkawinan agar menjadi selaras dengan apa yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi  Manusia sehingga hak asasi warga negaranya ( terutama pasangan beda agama) dapat terpenuhi dengan baik.



[1] M.W Syahrial, “Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005” ( Jakarta : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ELSAM )
[2] Era Baru News : Enam Kasus Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
duinduh pada hari Senin, 5 Maret 2012 pukul 15.00 WIB

0 komentar:

Posting Komentar