Redemta Galuh Purbosari
11/312297/SP/24527
Review DUHAM
Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, atau yang sering disebut dengan DUHAM, merupakan hasil
kesepakatan Negara – Negara anggota PBB mengenai persoalan Hak Asasi Manusia. Deklarasi
tersebut selesai dirembug pada tanggal 10 desember 1948 ( selanjutnya
diperinngatu sebagai hari HAM ) dengan mendapatkan 48 suara setuju, 0 suara
menolak, dan 8 suara abstain[1]. Peraturan
mengenai Hak Asasi Manusia, baik itu Hak Sipil dan Politik maupun Hak Sosial,
Ekonomi, Budaya tertuang didalamnya. Deklarasi ini menjadi titik awal bagi PBB
untuk dapat memberikan pemahaman mengenai pentingnya penghargaan terhadap HAM
kepada seluruh Negara di dunia sehingga tidak ada satu individu, suku, maupun
Negara yang dilanggar hak asasinya.
Di Indonesia sendiri,
berbagai kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi tanpa adanya penyelesaian
hukum yang serius hingga ke akarnya. Mulai dari kasus pelanggaran Hak Anak,
kasus pembunuhan pegiat HAM Munir, hingga pelanggaran HAM berat seperti kasus
Trisakti, Talang Sari, kasus Orang Hilang tahun 1997/1998, kerusuhan Mei 1998,
kasus Semanggi I dan Semanggi II serta kasus Wasior di Papua[2].
Penyelesaian hukum dari berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut hanya sebatas
angin lalu dan berlarut larut. Pemegang kunci birokrasi dan aparat penegak
hukum seolah menutup mata rapat – rapat terhadap kasus tersebut sehingga bangsa
ini seolah menjadi bangsa yang hukumnya hanya runcing ke bawah tetapi tumpul
keatas.
Ada lagi satu bentuk diskriminasi
HAM di Indonesia yang tidak kasat mata, memang tidak seberat kasus Trisakti
namun tetap merugikan bagi pihak – pihak yang bersangkutan yaitu, diskriminasi
pernikahan beda agama di Indonesia. Dalam pembahasan ini, bukan aspek teologis
yang menjadi landasan berfikir melainkan berdasarkan cara pandang Hak Asasi
Manusia. Pada kenyataanya belum ada Undang – undang yang mengatur dengan jelas
mengenai pernikahan beda agama di Indonesia. Memang garis larangan itu tidak
dilukiskan secara jelas namun sebatas tersirat dan itu cukup menimbulkan
kesulitan berarti bagi pasangan beda agama yang ingin melangsungkan pernikahan.
Dimulai dari tekanan keluarga, lingkungan sekitar, agama, hingga tidak ada
ketentuan hukum yang mengatur dengan pasti maka Hak Asasi Manusia ( dalam hal
ini adalah hak asasi pasangan beda agama ) dipertaruhkan disini.
Pada dasarnya setiap individu bebas untuk menentukan
pasangan hidupnya, karena memang itu menjadi bagian dari haknya. Hal ini
diperkuat dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 ayat (1)yang
menyatakan bahwa : Laki-laki dan
Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan
atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai
hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat
perceraian. Pada kenyataanya, pasangan beda agama di Indonesia membutuhkan
perjuanngan yang tidak mulus untuk mendapatkan sebuah status pernikahan yang
sah menurut agama dan Negara. Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) Pasal 2
ayat (1) menyatakan bahwa : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing – masing agama dan keprcayaan itu. Undang undang tersebut secara
tidak langsung memberikan pembatasan dan diskriminasi terhadap hak asasi
pasangan yang ingin menikah beda agama .
Meskipun tidak terungkapkan secara frontal, apabila
kita mengacu pada deklarasi Universal Hak Asasi Manusia maka hak asasi pasangan
beda agama jelas didiskriminasi dan dipersulit. Pemahaman bahwa pernikahan beda
agama merupakan hal yang negatif sehingga menimbulkan diskriminasi diciptakan
oleh pandangan subyektif dan terlanjur mendarah daging di Indonesia. Pernikahan
tidak dapat dibatasi oleh suku, ras, maupun agama, setiap individu memiliki hak
asasi yang penuh atasnya. Negara – Negara di Eropa menjadi tempat pelarian
pasangan beda agama karena mereka dapat mendapatkan status pernikahan yang
pasti dan tidak dipersulit oleh birokrasi, pandangan subyektif, serta tekanan
masyarakat disana daripada di negerinya sendiri Indonesia.
Indonesia merupakan Negara multikultural dengan
berbagai perbedaan budaya dan agama yang ada. Setiap harinya masyarakat
Indonesia berinteraksi satu sama lain dengan orang yang berbeda agama dan suku,
oleh karens itu kemungkinan adanya pernikahan beda agama sangat besar terjadi (
mengingat Indonesia bukan Negara dengan satu agama ). Setiap individu termasuk
pemerintah seharusnya menyadari kemajemukan yang ada dan memahami dengan baik
bahwa setiap individu memiliki hak asasi yang penuh dan dilindungi dengan hukum
untuk menikah dengan pasangannya dengan tidak dibatasi oleh ras, suku, dan
agama. Pemerintah sebaiknya perlu mengkaji ulang peraturan perundang – undangan
perkawinan agar menjadi selaras dengan apa yang tercantum dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia sehingga hak
asasi warga negaranya ( terutama pasangan beda agama) dapat terpenuhi dengan
baik.
0 komentar:
Posting Komentar