Review : Teori Dasar HAM - Magna Carta
Nama : Ardra F.
Nim : 06/192760/SP/21341
Magna
Carta Liberatium (The Great Charter/Piagam Agung) dicetuskan di Inggris pada 15
Juni 1215. Perjanjian besar ini berawal dari kepemimpinan Raja Inggris, John
Lackland yang masih menggunakan sistem monarki Inggris dimana kekuasaan raja
bersifat absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum). Bentuk kepemimpinan yang
semena-mena yang memberatkan salah satu pihak ini kemudian memunculkan suatu
perselisihan pendapat antara Paus Innocent III, Raja John, dan para bangsawan
Inggris atas hak-hak raja. Dokumen ini pada dasarnya memuat tentang pembatasan
hak raja oleh hukum sehingga raja terikat oleh hukum dan memiliki tanggung
jawab terhadap rakyat dimana keinginan raja yang dianggap melanggar hak asasi
manusia seharusnya ditiadakan, dan mengharuskan raja untuk membuat perundingan
dalam pengambilan keputusan kebijakan melalui prosedur legal, yang kemudian
diterapkan berabad-abad kemudian yang menyatakan bahwa undang-undang tidak bisa
sah tanpa persetujuan parlemen atau badan perwakilan rakyat.[1]
Dapat dikatakan
bahwa Magna Carta merupakan tonggak sejarah konstitusonalisme; bahwa kekuasaan
negara tidak tak terbatas, bahwa raja harus mengormati hak, dan bahwa kebebasan
bisa dijamin oleh hukum. Hal ini terbukti dengan adanya pengaruh dalam
perluasan proses sejarah menuju pembuatan hukum konstitusional, seperti United
State Constitution dan Bill of Rights, dan dianggap sebagai salah satu dari
dokumen legal yang penting dalam sejarah demokrasi. Magna Carta kemudian menjadi
lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena ia
mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya lebih tinggi daripada
kekuasaan raja.[2]
Berikut
adalah isi dari Piagam Magna Carta :
- Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan, hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
- Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk memberikan hak-hak sebagi berikut :
- Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-hak penduduk.
- Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa bukti dan saksi yang sah.
- Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap, dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan hukum sebagai dasar tindakannya.
- Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.[3]
Perjuangan
gerakan-gerakan HAM telah dimulai pada abad 18 dan 19 yang menghasilkan
berbagai Revolusi, Deklarasi dan Konstitusi dalam alur perkembangan sejarah.
Namun begitu, pandangan dan realita kadang tidak berjalan beriringan dan oleh
sebab itu tidak semua transformasi dapat dikatakan sebagai sebuah langkah
pertama dalam sebuah perubahan. Hal tersebut harus dilihat dari seberapa jauh
pengaruh yang dibawa yang akan melahirkan ide-ide baru dalam perkembangan
sejarah dunia dan seberapa besar perubahan kondisi yang ditimbulkan.
Beberapa
pendapat mengenai Magna Carta, yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut bukan
merupakan teori dasar HAM karena isi yang dikandung hanya memuat tentang
pemenuhan tuntutan dari kaum bangsawan dan kaum Gerejani. Hal ini didukung oleh
terjadinya transformasi pada masa Henry II, yang membuat sebuah English Common Law dan kemudian melembagakan
sistem trial by jury. Akan tetapi, transformasi yang terjadi sebelum pencetusan
Magna Carta ini tidak memiliki pengaruh konkret terhadap perkembangan sejarah monarki konstitusional. Seperti contohnya di tanah
Jawa Raja kahuripan Sri Teguh Erlangga juga tercatat menghapuskan perbudakan
manusia. Namun perbudakan itu kembali terjadi pada masa Sri Kretajaya yang
merupakan ahli waris selanjutnya dan kemudian dihapuskan lagi ketika Arok
menjadi akuwu di Tumapel.[4]
Beberapa
transformasi dalam sejarah Inggris terus bergulir tanpa henti sejak pencetusan
Magna Carta. Mulai dari pembetukan Parlemen yang pertama hingga terjadinya
kembali sistem monarki ketika keluarga Stuart, pengganti keluarga Tudor yang
tergeser oleh pemerintahan republik, kembali menduduki takhta Inggris. Kemudian
setelah terjadi peralihan kekuasaan pada peristiwa Glorious Revolution yang
melahirkan Bill of Rights pada tahun 1689, Magna Carta menemukan kembali maknanya
dan sejak saat itu Inggris berada pada masa yang cukup stabil. Meskipun begitu,
bukan berarti Magna Carta telah mampu merubah kondisi secara global atas
pelanggaran-pelanggaran HAM yang telah terjadi dalam sejarah yang panjang. Hal
tersebut hingga saat ini masih terus berlanjut terutama terhadap beberapa
kategori yaitu; perbudakan, kaum
perempuan, mereka dengan status dan ekonomi rendah dan kaum pribumi. Dan hal
ini akan selalu menjadi topik hangat untuk diperdebatkan. Praktik-praktik
pelanggaran HAM seringkali tejadi dalam suatu kebijakan dan instrumen-instrumen
negara berkaitan dengan kepentingan politik internasional maupun aktor-aktor
pendukung teori dasar HAM. Seperti contohnya, John locke yang mempunyai saham
di Royal African Company, suatu perusahaan perdagangan budak dari Afrika dan
Rousseau yang menyuarakan keadilan dan kebebasan, namun pada saat yang sama
menolak kesetaraan gender.[4]
Dari Uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa Magna Carta memang diharapkan sebagai pondasi
awal dalam teori dasar HAM, dimana pengaruh yang dibawa mampu memberi perubahan
pada kondisi pemerintahan berikutnya. Akan tetapi dalam perkembangannya, pelaksanaan
dalam aturan-aturan berkaitan dengan HAM masih terlalu dini untuk dikatakan
sempurna. Hal ini didukung oleh semakin marak isu-isu global mengenai perang,
perselisihan, dan perdebatan pro-kontra dimana terjadi sebuah kontradiksi pada
suatu negara yang menganut sistem demokrasi namun melakukan tindakan-tindakan
pelanggaran HAM.
[3] Dikutip dari http://emperordeva.wordpress.com/about/sejarah-hak-asasi-manusia/, pada tanggal 04 Maret pukul 18:10 WIB
0 komentar:
Posting Komentar