Yoga Tri Waskito Nugroho (11/317758/SP/24651)
Praktek diskriminasi pada masyarakat Indonesia nampaknya cukup sulit untuk diberantas, mengingat doktrin agama, sosial, maupun nilai-nilai moral begitu mengakar dalam prinsip pergaulan sehari-hari mereka. Selanjutnya, doktrin ini seringkali berimplikasi pada tindakan diskriminatif dan tidak mempertimbangkan dimensi lain yang mungkin saja penting untuk dikritisi. Dari beberapa contoh bentuk diskriminasi yang ada di sekitar saya, terdapat satu kasus yang bisa menjadi kajian cukup menarik apabila disoroti dari sudut pandang HAM. Masalah yang dimaksudkan adalah mengenai eksistensi waria, utamanya di Yogyakarta yang masih dipandang sebelah mata bagi kebanyakan masyarakat.
Untuk menguatkan landasan teoritis apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai diskriminasi atau bukan, mari kita mengembalikan pada esensi diskriminasi itu sendiri. Menurut UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat 3, diskriminasi diartikan sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.[1]
Dari pemaparan di atas, salah satu parameter yang saya gunakan untuk menguatkan argumen bahwa tindakan masyarakat kepada waria merupakan bentuk diskriminasi adalah “pengucilan terhadap golongan” mereka dalam kehidupan sosial masyarakat. Keberadaan waria di Yogyakarta seringkali memunculkan aksi cercaan dan ejekan atau bahkan pengucilan dari berbagai pihak karena dinilai menyalahi kodrat yang diberikan Tuhan. Namun sekali lagi yang perlu saya tekankan di sini adalah sudut pandang yang digunakan. Analisis terkait masalah ini kita pandang dari perspektif HAM, terlepas dari segala nilai agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakat karena sejatinya nilai HAM itu sendiri bersifat universal, artinya berlaku dimana saja dan untuk siapa saja tanpa terkecuali bagi waria.
Untuk memilih jalan hidup seperti demikian bukanlah hal mudah, mereka tentunya telah mempertimbangkan konsekwensi sosial yang akan mereka terima ke depannya. Mengapa mereka tetap memutuskan untuk menjadi waria meskipun tahu konsekwensinya akan sangat fatal? Di sinilah HAM berbicara. Setiap orang memiliki alasan, begitu pula dengan mereka. Faktor desakan ekonomi, atau orientasi seksual yang memang berbeda kerap kali menjadi pendorong utama. Ingat, tidak ada orang di dunia ini yang berharap untuk hidup dengan penuh cercaan dari orang lain. Jadi, apabila seseorang telah berani untuk mengambil langkah, pastinya mereka juga telah memiliki alasan dan pertimbangan yang matang.
Fakta lain yang sebenarnya cukup menarik adalah keberadaan salah satu rumah makan terkemuka bagi warga Yogyakarta, yang mana pemiliknya sendiri adalah waria. Hal tersebut membuktikan bahwa kaum seperti mereka bisa saja diberdayakan pada koridor yang benar, sehingga tidak muncul stereotype negatif dari masyarakat. Di samping itu, kehadiran pondok pesantren waria yang bahkan telah mendapatkan dukungan dari MUI cabang Yogyakarta[2] semakin membuka mata kita, betapa mereka juga masih memiliki nurani serta menjunjung nilai-nilai Ketuhanan.
Sebagai masyarakat Indonesia yang beradab, sudah selayaknya bagi kita untuk menghargai keputusan hidup orang lain. Di samping peran kesadaran masyarakat, peran pemerintah juga tidak kalah penting. Upaya-upaya dinas terkait, seperti dinas sosial akan cukup membantu dalam hal pemberdayaan. Perluasan lapangan kerja merupakan salah satu opsi yang juga efektif, karena tidak sedikit orang yang memutuskan menjadi waria karena desakan kebutuhan ekonomi yang tidak bisa terpenuhi .
[1] Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16956/function.fopen tanggal 22 Maret 2012 pukul 23.04 WIB
[2] Diakses dari http://www.poskotanews.com/2012/03/19/melongok-pesantren-waria-di-yogyakarta/ tanggal 22 Maret 2012 pukul 23.15 WIB
0 komentar:
Posting Komentar