Senin, 26 Maret 2012

Diskriminasi : Identitas Sekolah sebagai Identitas Individu

Agnes Pinkan Rahajeng
11/311586/SP/24403

Praktik diskriminasi kini rasanya tak khayal dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Siapa saja pelakunya tetap saja hal tersebut telah melanggar hak asasi manusia dan menyalahgunai asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu sama. Dalam keseharian, tidak dapat dipungkiri bahwa kita hidup dalam keberagaman. Bukankah hidup dalam keberagaman itu indah ? Walaupun berbeda, saya yakin kita tetap sama. Sama kodratnya sebagai manusia, sama kedudukannya di mata Tuhan. Keberagaman membuat hidup lebih berwarna. Jadi apa salahnya menerima perbedaan yang ada?
Berbicara mengenai diskriminasi, membuat saya melihat kembali ke belakang. Peristiwa ini terjadi ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Waktu itu, saya dan teman saya mengikuti sebuah lomba yang diadakan di sekolah negeri. Latar belakang sekolah saya adalah sekolah swasta khatolik. Sekolah saya sering dianggap saingan berat bagi peserta lainnya karena prestasi yang telah ditorehkan oleh para kakak kelas saya pada setiap kompetisi sebelumnya. Selain itu, perbedaan agama atas sekolah saya masih sangat kental terasa.
Sebelum  kompetisi, pihak sekolah sudah menganjurkan kami untuk tidak memakai seragam identitas ketika kompetisi berlangsung. Hal ini dianjurkan oleh pihak sekolah agar peserta dari sekolah kami tetap terlihat sama di antara peserta lainnya yang notabene berasal dari sekolah negri. Selain itu, seragam identitas sekolah saya sangat khas sehingga siapapun yang melihat pasti langsung mengenali bahwa kami dari sd swasta khatolik. Namun karena bebal, saya dan sahabat saya teta nekat memakai seragam identitas kami pada saat pelaksanaan lomba.
Pada saat memasuki gerbang sekolah tempat pelaksana lomba, semua orang sudah memandang aneh kepada saya dan sahabat saya. Kami merasa ada yang aneh pada diri kami. Saat berjalannya acara, juripun memperlakukan saya dengan berbeda. Seharusnya, setiap peserta mendapatkan kesempatan berlomba selama sepuluh menit, sedangkan saya hanya mendapatkan waktu tidak sampai sepuluh menit, lalu panitia pun sudah memperingatkan saya untuk menyudahi pekerjaan saya dalam lomba tersebut. Terlebih lagi, sebelum saya memasuki ruangan untuk berlomba, nomer urut lomba saya kerap kali dilewati sedangkan peserta lain didahulukan masuk untuk berlomba. Sampai kepada saat guru saya memprotes panitia lomba, barulah saya diberi kesempatan untuk masuk dan berpartisipasi dalam lomba.
Hal ini saya anggap sebagai salah satu praktik diskriminasi yang pernah terjadi di lingkungan saya bahkan terhadap diri saya. Diskriminasi ini berbentuk pada almamater sekolah yang saya bawa pada perlombaan itu dimana sekolah saya merupakan salah satu pesaing dari sekolah yang mengadakan lomba, sehingga terlihat bentuk kecemburuan sosial yang berdampak pada diskriminasi yang saya rasakan sebagai peserta lomba. Kejadian ini dirasa sangat merugikan karena persaingan yang terjadi jadi tidak sporif karena pembedaan yang ada. Saya berharap dengan adanyaa peristiwa di atas, tidak ada lagi kejadian sama yang berulang karena berbeda itu indah.

0 komentar:

Posting Komentar