Maylany Ika Putri 11/317807/SP/24697
Diskriminasi terhadap Anak
Secara religius, anak merupakan titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat kehidupannya semenjak dia ada di dalam kandungan, kemudian lahir, hingga anak tersebut dewasa dan telah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedangkan pengertian ‘anak’ di dalam Undang-undang RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan[1]. Sehingga dari kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang anak merupakan manusia yang belum dewasa yang membutuhkan perawatan, bimbingan, serta perhatian yang cukup dari orang yang telah dewasa, dalam hal ini orang tua dari anak tersebut.
Namun pada kenyataannya, terkadang perhatian atau kasih sayang yang dibutuhkan seorang anak tidaklah sepenuhnya diberikan oleh orang tua mereka. Seperti sebuah kasus yang terjadi di lingkungan rumah saya. Suatu keluarga di sekitar rumah saya di daerah Pekalongan mempunyai empat orang anak. Tiga anak pertama berjenis kelamin laki-laki dan anak yang terakhir adalah perempuan. Jarak antara anak ketiga dan keempat memang cukup jauh, yaitu sekitar sembilan tahun. Kehadiran anak perempuan di keluarga tersebut memang telah dinantikan sangat lama, mengingat anak pertama mereka sekarang telah berusia sekitar 25 tahun.
Memang bisa dikatakan ‘lumrah’ apabila orang tua, terutama seorang ibu, sangat menginginkan kehadiran anak perempuan. Menurut pendapat kebanyakan orang, dengan memiliki anak perempuan berarti seorang ibu bisa “merancang” anak tersebut sesuai dengan keinginannya, dalam pengertian menjadikan anak tersebut feminin. Sang ibu bisa lebih melampiaskan keinginannya untuk mempercantik si anak perempuan.
Dalam kasus ini, sang ibu sangat posesif terhadap anak perempuannya. Setiap hari, ia mengajak anak perempuannya berkeliling di lingkungan tempat tinggalnya. Ibu tersebut tidak segan-segan merias si kecil dengan hiasan rambut, baju-baju yang lucu, dan sepatu yang menurut saya terlalu berlebihan jika dikenakan oleh seorang balita berusia dua tahun. Tindakan perhatian ibu tersebut tidak hanya berpengaruh pada si anak perempuan saja. Kakak ketiganya, yang masih berusia sekitar 11 tahun pun terkena dampak dari perhatian sang ibu yang berlebihan terhadap adiknya.
Seringkali, sang ibu langsung marah-marah ketika anak ketiganya melakukan sebuah kesalahan kecil. Apalagi jika kesalahan tersebut dilakukan kepada adiknya. Namun, menurut pengamatan saya, karena letak rumah kami yang tidak lebih dari tiga meter, kesalahan si kakak tidaklah parah. Contohnya adalah ketika dia mencium pipi adiknya terlalu keras. Karena tindakan tersebut, sang ibu langsung membentak si kakak dengan suara yang cukup keras. Selain itu, sang ibu juga kerap menyuruh anak ketiganya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya masih membutuhkan bimbingan dari orang tuanya, seperti mengepel atau membersihkan bekas air atau makanan yang ditumpahkan. Jika tujuan sang ibu adalah untuk mendidik si anak, seharusnya ia melakukannya dengan cara yang lebih lembut. Secara tidak langsung, sikap sang ibu bisa ditiru oleh si anak.
Dari kejadian-kejadian tersebut, saya menilai bahwa ada tindak diskriminasi yang dilakukan sang ibu, yaitu membeda-bedakan kasih sayang yang ia berikan bagi anak-anaknya. Karena merujuk pada Konvensi terhadap Hak-hak Anak yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 yang menyatakan bahwa seorang anak harus terbebas dari diskriminasi atau hukuman atas dasar status, aktivitas, pendapat yang diutarakan, atau kepercayaan orang tua anak, wali hukum anak, atau anggota keluarga anak[2]. Dalam hal ini, diskriminasi terhadap anak ketiga dari sang ibu adalah mengenai aktivitas yang dilakukan si anak. Padahal, anak ketiga ini juga masih berhak mendapatkan taraf kasih sayang dan perhatian yang sama dari sang ibu apabila menoleh kembali pada pengertian anak menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 di atas. Tindakan sang ibu yang dapat dikatakan cukup kasar juga dapat mempengaruhi psikologis anaknya. Si anak bisa saja meniru sikap ibunya atau malah menjadi pendiam karena trauma terhadap ibunya.
Seorang ibu merupakan figur yang paling penting dalam tumbuh kembang seorang anak, mengingat di Indonesia sendiri budaya ‘bapak bekerja dan ibu mengurus rumah tangga’ masih sangat kental. Tindak diskriminasi tidak seharusnya terjadi ketika seorang ibu dapat mengontrol emosinya dan memberikan perhatian serta kasih sayang yang merata kepada semua anaknya. Sebab perlu dipahami bahwa diskriminasi dalam berbagai bentuk bukan hanya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai sosial, melainkan juga pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi[3].
[1] Sirajudin. Dalam Kajian Pustaka “Definisi Anak”. lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_ii/09780016-sirajudin.ps
[2] Konvensi Hak Anak. http://www.kontras.org/baru/Kovensi%20Hak%20Anak.pdf
[3] Bappenas. Dalam Bab 10 “Penghapusan Diskriminasi dalam Berbagai Bentuk” http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6163/
0 komentar:
Posting Komentar