Diskriminasi yang saya rasakan adalah ketika saya duduk di bangku SMA, tepatnya kelas XI dan XII. Pada saat itu, sekolah saya baru menerapkan sistem Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan membuka kelas internasional bagi adik kelas saya. Angkatan saya merupakan angkatan reguler terakhir. RSBI/SBI adalah sekolah yang dibentuk berdasarkan amanat pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. RSBI/SBI lahir dari tuntutan daya saing sumber daya manusia yang siap berkompetisi di dunia global. Sekolah ini diharapkan dapat menciptakan lulusan yang dapat melampaui standar nasional.[1]
Siswa yang ingin masuk ke sekolah saya, terutama pada angkatan RSBI, harus melalui berbagai macam tes, tidak seperti angkatan sebelumnya yang hanya mengandalkan nilai rata-rata hasil ujian nasional SMP. Mereka pun dianggap siswa yang spesial, selain karena biaya yang cukup mahal sebagai uang masuk sekolah. Oleh karena itu, mereka mendapat fasilitas yang spesial pula. Kelas mereka menggunakan AC, memiliki komputer dengan fasilitas wi-fi setiap kelas, memiliki LCD pojector, dan lain sebagainya yang sangat terlihat mencolok dan sangat berbeda dibanding dengan kondisi kelas regular. Selain itu, seragam batik yang mereka kenakan pun berbeda dengan siswa siswi kelas reguler sehingga dapat dengan mudah membedakan antara siswa RSBI dan siswa reguler. Bahkan, terdapat buku-buku di perpustakaan sekolah yang khusus ditunjukkan bagi siswa RSBI, siswa reguler tidak diperbolehkan meminjam buku-buku tersebut.
Hal-hal tersebut telah menimbulkan rasa iri bagi kami, siswa kelas reguler. Ditambah dengan status angkatan saya yang merupakan angkatan regular terakhir, menjadikan kami sangat terlihat berbeda dengan mereka. Menurut saya, hal tersebut merupakan salah satu tindak diskriminasi pendidikan. Menurut Pasal 1 ayat 3 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan, yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, rasa, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum sosial budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Apakah karena sumbangan pendidikan yang mereka keluarkan lebih mahal daripada siswa reguler yang membuat pihak sekolah begitu mengistimewakan mereka? Hal tersebut sangatlah tidak adil apalagi alasannya pun karena uang sumbangan. Siswa reguler juga berhak mendapatakan fasilitas tersebut atau minimal sekolah tidak memperlihatkan dengan jelas sikap pilih kasihnya kepada siswa RSBI terhadap siswa reguler Sekolah, yang merupakan tempat yang mengajarkan kita untuk tidak boleh membeda-bedakan sesama manusia atau non diskriminasi dan sikap saling menghargai hak dan kewajiban setiap manusia justru melakukan tindakan diskriminasi. Hal ini jika diteruskan dalam sistem pendidikan kita tentu akan menimbulkan konflik. Mereka yang merupakan siswa regular mungkin akan bersikap rendah diri sedangkan siswa kelas internasional akan muncul sifat sombong karena mereka merasa memiliki fasilitas yang ‘wah’ dan diperlakukan spesial oleh pihak sekolah. Sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi dengan dihapuskannya sikap diskriminasi bagi seluruh siswa.
[1] Arifin, Deddy, 2012, RSBI/SBI Apakah Sebuah Diskriminasi Pendidikan?, http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/17/rsbisbi-apakah-sebuah-diskriminasi-pendidikan/, diakses pada 25 Maret 2012
0 komentar:
Posting Komentar