Rezha Bayu Oktavian Arief
11/311863/SP/24446
Pluralisme merupakan sebuah keberagaman etnis, ras, golongan, suku, agama, atau bahasa yang telah ada didalam unsur-unsur kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman Hindia Belanda. Menurut Furnivall dalam bukunya Netherlands India : A Study of Plural Economy menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda merupakan masyarakat majemuk atau plural society yang saat itu terdiri atas dua atau lebih elemen kehidupan didalam satu kesatuan politik dan hidup sendiri-sendiri dalam elemen tersebut[1]. Penjelasan di atas melihat bahwa didalam masyarakat majemuk terdapat lebih dari satu kelompok sosial seperti kelompok etnik yang menganut sistem kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Kelompok-kelompok tersebut sering saja bersifat primordial, sehingga dapat dengan mudah menimbulkan konflik sosial, dominasi politik, bahkan diskriminasi oleh kelompok tertentu. Seperti konflik yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
11/311863/SP/24446
Pluralisme merupakan sebuah keberagaman etnis, ras, golongan, suku, agama, atau bahasa yang telah ada didalam unsur-unsur kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman Hindia Belanda. Menurut Furnivall dalam bukunya Netherlands India : A Study of Plural Economy menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda merupakan masyarakat majemuk atau plural society yang saat itu terdiri atas dua atau lebih elemen kehidupan didalam satu kesatuan politik dan hidup sendiri-sendiri dalam elemen tersebut[1]. Penjelasan di atas melihat bahwa didalam masyarakat majemuk terdapat lebih dari satu kelompok sosial seperti kelompok etnik yang menganut sistem kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Kelompok-kelompok tersebut sering saja bersifat primordial, sehingga dapat dengan mudah menimbulkan konflik sosial, dominasi politik, bahkan diskriminasi oleh kelompok tertentu. Seperti konflik yang terjadi di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Kota Kendari beberapa tahun terakhir ini gencar dihebohkan oleh adanya perang suku yang terjadi dilingkungan kampus Universitas Haluoleo. Apalagi ketika dua mahasiswa Unhalu tewas dan menambah daftar korban pembunuhan yang terjadi pada September 2011 baru-baru ini. Masyarakat kota Kendari merasakan ketakutan dan kepanikan akibat kejadian tersebut. Banyak pandangan tentang konflik ini. Menurut Usman Rianse selaku rektor Unhalu, beliau berpendapat bahwa konflik ini bukanlah perang antar suku melainkan perang antar orang bertopeng yang tidak jelas identitasnya, sehingga beliau menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak mudah terhasut dengan isu ini[2]. Sama halnya dengan rektor Unhalu, walikota Kendari mengatakan dengan tegas bahwa kejadian tersebut murni tindakan kriminal, oleh karena itu masyarakat seharusnya tidak terprovokasi oleh orang yang tidak bertanggung jawab[3].
Melihat beberapa perspektif, kejadian tersebut selalu dikaitkan dengan kepentingan politik, sifat primordial, dan dominasi suku tertentu, terutama suku Muna dan suku Tolaki yang sering dikaitkan dengan peristiwa ini. Bukan hanya itu, terbentuknya kelompok-kelompok tertentu di antara mahasiswa membuat semakin panasnya adu ketegangan disana. Banyak mahasiswa yang sejak menjadi warga kampus membentuk kelompok-kelompok kecil berdasarkan solidaritas dan kekerabatan suku, sehingga timbul sifat primordial antara kelompok-kelompok suku lain. Dikaitkan dengan kegiatan politik yang memasuki wilayah kampus, kelompok-kelompok ini mulai memiliki pandangan yang berbeda dan memberikan dukungan berdasarkan suku masing-masing, sehingga timbul perasaan lebih baik dibandingkan dengan suku lainnya. Selain itu, ketika terjadi sedikit permasalahan kecil antar individu dari salah satu kelompok tersebut, maka solidaritas dari teman-teman kelompok lain dalam suku yang sama akan turut membantu menyelesaikan permasalahan, namun permasalahan malah makin membesar dan mengatas namakan konflik suku ditengah isu dimasyarakat. Begitulah yang terjadi, isu yang beredar juga menyebutkan kerusuhan ini terjadi saat ospek mahasiswa, dimana dari berbagai suku saling berhadapan dengan suku lain di Sulawesi Tenggara.
Pada hakikatnya, Sulawesi Tenggara terdiri atas lima etnis besar yang hidup saling berdampingan. Kenyataan pluralitas provinsi ini akan berdampak pada beberapa hal termasuk konflik suku dan diskriminasi antar kelompok sosial. Namun, semua pihak berharap konflik berdarah yang terjadi di Kendari dapat terselesaikan, agar semua masyarakat dapat hidup saling toleransi dan menghargai tanpa ada diskriminasi apapun termasuk diskriminasi etnis atau suku tertentu.
[1] JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, P.446-469.
[2] Berita Kendari, Tidak Ada Perang Antar Suku Tetapi Perang Antar Topeng, 9 September 2011, http://beritakendari.com/usman-rianse-tidak-ada-perang-antar-suku-tapi-perang-antar-topeng.html (di akses 25 Maret 2012).
[3] Berita Kendari, Walikota Himbau Warga Tidak Terprovokasi, 9 September 2011, http://beritakendari.com/walikota-himbau-warga-tidak-terprovokasi.html (di akses 25 Maret 2012)
0 komentar:
Posting Komentar