Senin, 05 Maret 2012

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948

Rezha Bayu Oktavian Arief
11/311863/SP/24446




            Hak Asasi Manusia merupakan sekumpulan hak yang menjadi isu internasional dan dianggap penting, sehingga wajib dijunjung tinggi oleh seluruh umat manusia serta dideklarasikan sebagai sumber bukti nyata dukungan manusia dan setiap negara di dunia. Di Indonesia sendiri, HAM telah di atur didalam UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 39/1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan, serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam pengertian ini, meskipun setiap orang terlahir berbeda warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya, dan kewarganegaraan, ia tetap memiliki hak-hak tersebut, sehingga ditekankan bahwa HAM bersifat universal dan tidak dapat dicabut (inalienable)[1]. Sifat inilah yang menjadi salah satu dasar dideklarasikannya HAM yakni pada tahun 1948 sebagai reaksi terhadap dampak buruk Perang Dunia II dengan sebutan Deklarasi Universal HAM (DUHAM) atau The Universal Declaration of Human Rights (UDHR).
            Terdapat 30 Pasal dalam DUHAM yang memuat dan mewakili seluruh substansi hak asasi yang diperjuangkan dan disepakati oleh seluruh negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada Pasal 1-5 berisi tentang esensi harkat martabat, kebebasan, kemerdekaan, dan tidak adanya perbedaan. Pasal 6-12 tentang persamaan hak dihadapan hukum, syarat pelanggar hukum, serta hak atas perlindungan hukum. Pasal 13-16 tentang hak kependudukan, warga negara, dan kewarganegaraan. Esensi yang tak kalah pentingnya adalah pada pasal 17-23 yaitu tentang hak pribadi terhadap harta, agama, berserikat, mengeluarkan pendapat, hak atas pekerjaan termasuk ikut serta dalam pemerintahan negerinya, serta hak atas jaminan sosial. Pasal 19 dan 20 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat pada DUHAM inilah yang menjadi salah satu dasar demokrasi dan esensi ini juga yang sangat ditekankan pada Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, hak tentang kesejahteraan individu akan kebutuhan pangan, sandang, dan papan termasuk kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan terdapat pada pasal 24-27. Sedangkan pada pasal 29 dan 30 berisi tentang pelaksanaan dan impelementasi dari setiap pasal-pasal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
          Pasal-pasal dalam DUHAM di tulis berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum agar setiap orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai jalan terakhir, guna menentang kedzaliman dan penindasan. Esensi pertimbangan ini mengharuskan setiap negara membuat sebuah perangkat hukum, benar adanya hal ini diperuntukkan agar hak asasi manusia ini dilindungi dan ada jaminan bagi setiap manusia untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara universal. Namun pada kenyataannya, universalisasi HAM ini menimbulkan pertentangan, seperti yang diungkapkan Morgenthau dalam bukunya Politics Among Nations  tentang HAM dan moralitas internasional bahwa terdapat kebutuhan relativisme tertentu didalam hubungan antara prinsip moral dan politik luar negeri sehingga terlalu berani jika memaksakan HAM untuk berlaku secara universal dengan kata lain semua bangsa dan semua orang harus menghormatinya dan menghukum bangsa lain jika tidak menghormati hak asasi itu, padahal budaya setiap bangsa berbeda seperti beberapa negara Afrika yang mempunyai sistem politik majemuk dan negara lainnya dengan sistem kediktatoran[2]. Berkaitan dengan hal tersebut, teori relativisme budaya (Cultural Relativism Theory) dalam buku Hukum Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa HAM perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama harus dihormati, sehingga berdasarkan dalil ini para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi HAM, apalagi jika didominasi oleh satu budaya tertentu[3].  Pernyataan ini melihat pada kenyataan bahwa ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, hal ini disebabkan oleh kepentingan kelompok tersebut, sehingga HAM tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali HAM itu tidak tunduk pada ketetapan budaya yang tidak dapat mewakili setiap individu. Selain itu, terdapat banyak perbedaan antara dunia barat dan dunia timur. HAM menurut negara barat dipandang sebagai suatu hak mutlak yang dimiliki oleh manusia dan harus dijunjung tinggi oleh pemerintah, sedangkan menurut negara timur HAM adalah hak yang muncul setelah adanya negara, negara yang memberikan hak tersebut, sehingga jika diperlukan negara pula yang dapat membatasi hak tersebut[4]. Inilah pertentangan yang terjadi dalam rangka universalisasi HAM  yang termasuk dalam deklarasinya “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, namun esensi terpenting adalah deklarasi ini menjadi solusi terbaik dalam pencapaian perdamaian dunia melalui penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.


[1] Eko Riyadi et al, ‘Hukum Hak Asasi Manusia’, Pusat Studi HAM UII, Yogyakarta, 2008, P.11.
[2] Hans J.Morgenthau, ‘Politics Among Nations’, Alfred A Knopf (Versi Indonesia 'Politik Antar Bngsa'), New York, 1962, P.294.
[3] Eko Riyadi et al, ‘Hukum Hak Asasi Manusia’, Pusat Studi HAM UII, Yogyakarta, 2008, P.20.
[4] Eko Riyadi et al, ‘Hukum Hak Asasi Manusia’, Pusat Studi HAM UII, Yogyakarta, 2008, P.22.


0 komentar:

Posting Komentar