Senin, 26 Maret 2012

diskriminasi tuna grahita

 chairila azka nurani
11/318010/SP/24887

Diskriminasi dalam masyarakat terjadi dalam bermacam bentuk. Ada diskriminasi yang terlihat nyata, dan ada juga yang tidak terlihat tapi terasa oleh korban diskriminasi itu sendiri.  Terkadang, bentuk diskriminasi ini juga terkesan ‘biasa saja’ dan tidak begitu diperhatikan masyarakat. Bentuk diskriminasi ini sendiri juga beragam seperti diskriminasi ras, agama, etnis, kelompok sosial, juga keadaan fisik.
Ini adalah cerita saya ketika SD. Dulu saya sempat tinggal di sebuah desa di lereng gunung Merapi, di Magelang. Ketika saya masih kecil, desa tempat saya tinggal ini masih agak ‘tertinggal’ sehingga SD yang tersedia di sana hanya SD Negeri yang merupakan sekolah instruksi presiden. Orang tua saya memutuskan menyekolahkan saya di sekolah tersebut karena letaknya dekat dengan rumah kami.
Karena pendidikan masyarakat yang belum bagus, SD saya ini menerima 1 orang murid yang memiliki kelainan mental (tuna grahita). Tuna grahita pada kasus ini adalah tuna grahita yang merupakan cacat ganda. Seseorang yang mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu.[1] Teman ini kemudian dijadikan satu bersama murid yang lain dalam kelas yang sama, padahal kita tahu bahwa mereka adalah orang berkebutuhan khusus.
Teman saya ini kemudian mengikuti proses belajar mengajar di kelas. Namun karena kecerdasannya terganggu, dia sering mengulang kelas. Di dalam kelas pun dia tidak dapat memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru kami. Kami juga melihat fisiknya yang berbeda dan tingkah lakunya yang tidak biasa seperti saya dan teman-teman lainnya. Teman ini bisa tiba-tiba marah dan memukul teman yang lain.
Dari sini, teman-teman lain merasa tidak ingin bermain bersama dia. Teman tuna grahita ini kemudian lebih sering bermain sendiri, di kelas dia juga duduk sendiri karena tidak ada yang mau duduk bersama dia. Ketika di kelas dan dia tidak dapat menjawab soal dengan benar, dia sering diejek oleh teman lain. Ketika bermain di luar, teman-teman menghindari dia karena mereka merasa takut pada teman tuna grahita ini.
Meski pada usia SD kami tidak mengerti apa itu tuna grahita dan bagaimana sebaiknya memperlakukan mereka, namun kejadian ini menunjukkan adanya diskriminasi karena adanya kelainan mental yang diderita teman tuna grahita ini. Fisiknya yang kami anggap aneh membuat kami menjauhinya dan menghindari bermain bersamanya. Terlebih dengan sifatnya yang terkadang bisa meledak-ledak membuat kami merasa takut terhadap dia.
Setelah teman ini melewati tahun ke 4 di SD Negeri, orangtuanya akhirnya menyekolahkan dia ke sekolah luar biasa. Dengan begitu kebutuhan khusus yang dibutuhkan teman tuna grahita ini dapat terpenuhi. 
 

0 komentar:

Posting Komentar