Minggu, 25 Maret 2012

DISKRIMINASI ETNIS PADA KONFLIK SAMBAS, KALIMANTAN BARAT 1999-2002

Dalam kehidupan bermasyarakat, seringkali kita dihadapkan pada perkara perkara pelik. Diskriminasi etnis contohnya. Salah satu bentuk yang unik dari diskriminasi etnis adalah yang pernah dialami oleh penulis. Sekalipun tahu bahwa hal itu salah, penulis bersyukur hal yang demikian terjadi, karena dengan adanya sebentuk pembedaan antar suku inilah penulis masih hidup sampai saat ini.
Penulis sempat hidup di tanah Sambas, Kalimantan Barat yang penuh konflik. salah satu yang paling terkenal adalah Konflik antara etnis Melayu dan Dayak melawan etnis Madura. Konflik dimana etnis Madura diburu bak binatang lantas dipenggal dan dilemparkan begitu saja. Namun bukan hal itu yang akan penulis soroti kali ini. Namun sesuatu yang lebih unik. Konflik ini memang benar benar hanya melibatkan ketiga etnis dengan populasi terbesar di wilayah tersebut itu. Masalah timbul saat seringkali terjadi peristiwa salah sasaran. Dalam rangka menghindarkan hal hal semacam ini berulang kembali, ada semacam kesepakatan tidak resmi dengan menggunakan warna warna tertentu. Bahwa etnis Melayu menggunakan warna kuning sebagai warna kebesarannya, etnis Dayak dengan merah dan etnis lainnya (Jawa, China, Sumatra) Hijau. Jadilah rumah rumah di wilayah Sambas dan sekitarnya pada masa itu diberi semacam ikat dibagian depan rumah berwarna sesuai dengan etnisnya. Bahkan bila beruntung, seringkali akan ditemui anak anak kecil yang bermain dengan ikat kepala berwarna warni. Bukan sebagai bagian dari permainan, namun masalah hidup mati!(perlu diketahui bahwa Madura yang diburu tidak memandang usia). Terdengar berlebihan? tentu saja! Namun lebih baik dilakukan karena konsekuensinya tidaklah main main. Apabila ketahuan ada rumah atau bocah yang identitas(ikat kepala)nya tidak jelas, kelompok pemburu dari etnis yang bertikai akan menginterogasinya dan mencari orangtuanya guna memastikan dari etnis apa mereka. Hal semacam ini memang merupakan sebentuk diskriminasi. Namun justifikasi yang digunakan selalu sama, demi kebaikan bersama. Namun dalam kacamata penulis, hal semacam ini percuma saja, toh etnis Madura tak akan memakai ikat hitam(warna yang diberikan pada mereka). Lucunya, terkadang ditemui warga Madura berikat kepala hijau bahkan kuning guna menyembunyikan identitas mereka.
Diskriminasi ini memang hendaknya jangan terjadi. Namun ketimbang menghilangkan diskriminasi ikat kepala, bukankah lebih baik apabila yang dihilangkan adalah konflik antar etnis itu sendiri. Jelas, karena konflik semacam ini adalah bentuk diskriminasi rasial yang lebih berat dibandingkan dengan hal sepele macam ikat kepala.



Dhamar Sukma Ramadhan
11/311682/SP/24415

0 komentar:

Posting Komentar