Melisa Rachmania 11/311995/SP/24472
Di Kota Yogyakarta, terdapat suatu sistem penerimaan siswa baru untuk tingkat SMP dan SMA yang dinamakan Real Time Online (RTO). Dengan sistem ini, siswa dan orangtua dapat dengan mudah memantau pergeseran ranking anak secara terus-menerus melalui internet. Ranking tersebut yang akan menentukan apakah anak terebut akan diterima di suatu sekolah atau tidak. Yang digunakan sebagai tolok ukur adalah nilai murni UAN anak ditambah dengan nilai prestasi dari kejuaraan yang pernah diikuti anak (jika ada).
Saya menganggap sistem RTO ini telah menciptakan sebuah bentuk diskriminasi baru terhadap siswa dalam pendidikan. Awalnya, di Kota Yogyakarta berlaku sistem penerimaan siswa baru berdasarkan rayon asal sekolah sebelumnya. Dengan sistem ini, kemungkinan siswa untuk masuk ke sekolah yang berbeda dengan rayon asalnya akan sangat kecil. Akibat dari sistem ini adalah banyak siswa yang berdomisili luar Kota Yogyakarta berbondong-bondong masuk ke sekolah-sekolah di Kota Yogyakarta dengan harapan dapat bersekolah di sekolah ‘unggulan’ (asumsinya dengan masuk di SD Kota Yogyakarta maka ia pasti akan melanjutkan sekolah di SMP dan SMA Kota Yogyakarta), sehingga akhirnya sekolah-sekolah di Kota Yogyakarta banyak menampung anak-anak dari luar Kota Yogyakarta, sementara anak-anak yang berdomisili di Kota Yogyakarta sendiri banyak yang bersekolah di luar kota Yogyakarta seperti di Sleman dan Bantul.
Melihat fenomena ini, pemerintah Kota Yogyakarta membuat suatu sistem baru dalam penerimaan siswa baru ini, yaitu sistem RTO tersebut. Sistem ini menetapkan kuota 75% untuk siswa yang berdomisili di Kota Yogyakarta, 20% untuk siswa yang berdomisili di luar Kota Yogyakarta tetapi masih dalam provinsi DI Yogyakarta, dan 5% untuk siwa yang berasal dari luar provinsi DI Yogyakarta. Sistem baru ini menekankan pada domisili asal siswa yang dapat dibuktikan dengan fotokopi kartu keluarga yang dilampirkan saat pendaftaran. Maksud pemerintah menerapkan sistem baru ini adalah untuk melindungi hak siswa yang berdomisili di Kota Yogyakarta agar jangan sampai bersekolah jauh-jauh ke luar kota Yogyakarta.
Namun dengan adanya sistem kuota ini maka tanpa disadari pemerintah telah melakukan suatu diskriminasi baru. Seharusnya setiap siswa memiliki hak yang sama untuk bersekolah di sekolah manapun yang ia inginkan, tidak peduli dari mana asal siswa tersebut. Pihak sekolah yang nantinya akan menentukan apakah siswa tersebut layak untuk diterima di sekolah tersebut atau tidak. Meskipun tujuan pemerintah baik, namun sistem kuota ini justru memberikan lebih banyak dampak negatif, misalnya dengan banyaknya kecurangan yang terjadi seperti pemanipulasian kartu keluarga dan nilai UAN hanya agar siswa dari luar kota Yogyakarta dapat bersekolah di sekolah ‘unggulan’ kota Yogyakarta. Siswa juga menjadi hanya terfokus untuk mengejar nilai akademik setinggi-tingginya agar tidak kalah bersaing dengan siswa lainnya karena selisih nilai sedikit saja sangat berarti dalam sistem ini. Siswa lupa untuk mengembangkan bakatnya di bidang lain. Sistem ini juga banyak membuat baik siswa maupun orangtua stress karena membuat sulitnya mencari sekolah bagi mereka dengan nilai yang pas-pasan.
Yang diperlukan untuk mengatasi masalah ini bukanlah penerapan sistem kuota, melainkan penanaman pola pikir masyarakat bahwa sekolah yang bagus tidak hanya di kota Yogyakarta saja, setiap kabupaten juga memiliki sekolah-sekolah yang menghasilkan siswa dengan kualitas yang tidak kalah dari siswa lulusan sekolah kota Yogyakarta, bahkan tak jarang mereka justru memiliki kompetensi yang lebih. Namun sesungguhnya, tanpa perlu sekolah di sekolah ‘unggulan’ di kota Yogyakarta, meskipun siswa bersekolah di daerah terpencil pun tetapi jika siswa tersebut memiliki kemampuan, keinginan, dan usaha yang sungguh-sungguh pastinya ia akan berhasil meraih apa yang dicita-citakannya dan memiliki kompetensi yang mumpuni dan tidak akan kalah dari siswa lulusan sekolah-sekolah ‘unggulan’ di kota.
0 komentar:
Posting Komentar