DWI
AYU SILAWATI
11/311508/SP/24396
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
(QS Al-Hujurat [49]: 13)
Kisah ini merupakan pengalaman pribadi
saya saat masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Saat itu, orang tua saya
menyekolahkan saya di sebuah TK Kristen dengan pertimbangan jarak yang dekat.
Namun, selama saya bersekolah di sana selama dua tahun , saya tidak memiliki
banyak teman. Saya hanya sempat memiliki dua teman baik. Sedangkan teman-teman
lain tidak begitu simpatik pada saya. Saat teman-teman lain bermain, saya dan
satu teman saya tidak pernah diajak bergabung. Puncaknya ketika satu teman saya
itu pindah sekolah
Selain itu, karena merupakan sekolah
milik yayasan kristen, sekolah itu hanya mengajari cara berdoa cara Kristen,
sehingga sebelum dan sesudah kelas berlangsung kami berdoa dengan cara Kristen
serta merayakan Natal. Padahal saya
sendiri beragama Islam. Saya baru sadar bahwa sebagian besar siswa di sana
adalah keturunan Tionghoa. Dan saya dan satu teman saya sebagai siswa non-Tionghoa
dianggap sebagai orang asing atau mungkin aneh bagi mereka. Namun, saya salut
pada semua staf guru di sana yang senantiasa bersikap netral dan adil pada
semua murid tanpa memandang ras atau sukunya. Mereka memperlakukan kami yang
non-Tionghoa dengan adil , sama dengan siswa lain.
Lain cerita dengan adik saya yang juga
bersekolah di sana , tepat setelah saya lulus dan melanjutkan ke Sekolah Dasar.
Tepat saat adik saya mulai bersekolah di sana, ia bisa mendapatkan pelajaran
pendidikan agama Islam. Sekolah itu juga mulai terbuka dan siswanya beragam,
tidak lagi didominasi siswa keturunan Tionghoa. Dengan kata lain, adik saya
masuk di saat yang tepat, ia cukup beruntung karena tidak mengalami
diskriminasi.
Diskriminasi tidak hanya terjadi di
sekolah itu. Sampai sekarang masih banyak fenomena yang menunjukkan adanya
hambatan untuk hidup secara rukun dengan warga yang berlainan etnis atau suku.
Contohnya di lingkungan tempat tinggal saya di daerah Malang, Jawa Timur. Di
sini kami memang tinggal berdampingan dengan banyak suku , mulai dari Jawa,
Sumatra, Bali, Cina, bahkan warga negara asing asal negara lain. Secara umum, kehidupan di sini cukup harmonis.
Kami juga sering mengadakan acara tasyakuran
bersama dalam momen-momen tertentu, misalnya saat Hari Kemerdekaan. Silaturahmi
, saling mengucapkan selamat saat hari raya agama masing-masing, saling
membantu saat ada acara tertentu merupakan hal yang lumrah kami lakukan.
Sayangnya dalam hal pendidikan, saya merasa,
kami masih tersegregasi. Warga keturunan Tionghoa cenderung memilih sekolah
swasta yang dikelola yayasan Kristen atau -Katolik. Mereka tampak enggan
bergabung dengan teman-teman yang bukan berasal dari keluarga Tionghoa.
Sementara sekolah negeri masih didominasi WNI yang beragama Islam. Meskipun hal
ini tidak serta merta menyulut konflik, tetapi akan semakin memperjelas jurang
antara satu suku dengan suku lain.
0 komentar:
Posting Komentar