Minggu, 25 Maret 2012

Panggil Aku Erik

M. Irfan Ardhani
11/311451/SP/24387

            Kelas XII P 7 SMAN 2 Surabaya bisa dibilang sebagai kelas yang majemuk baik jika dilihat dari segi agama, suku, maupun ras. Hal ini membuat kehidupan di kelas tersebut penuh dinamika. Tidak jarang, dinamika tersebut berujung pada konflik yang melibatkan siswa-siswa di dalamnya. Dari segi suku sendiri, kelas cibi memiliki banyak pilihan. Mulai dari Batak, Padang, Betawi, Sunda, Madura, Jawa, Flores, hingga Tionghoa. Rupanya, kemajemukan suku-suku tersebut membuat beberapa orang terpancing untuk berbuat diskriminatif. Khususnya terkait dengan suku yang disebut terakhir, Tionghoa.
Namanya Erik Yudistira. Lelaki kelahiran Surabaya, 12 Agustus 1993 ini dilahirkan dalam lingkungan keluarga Tionghoa. Hal itu terlihat jelas dengan ciri-ciri fisik yang dia miliki, yaitu mata sipit, kulit kuning langsat, dan aksen jawa yang ‘medhok’. Dari segi materi, jangan ditanya lagi. Koko, begitu siswa lain biasa memanggilnya, memiliki rumah yang luasnya seperti istana. Terdiri dari empat lantai, rumah ini dilengkapi dengan garasi mobil yang konon ukurannya seluas rumah penulis. Tidak mengherankan, keluarga Koko memiliki lima mobil yang kesemuanya keluaran 2010 ke atas.
Sebagaimana mindset etnis lain di Indonesia terhadap etnis Tionghoa, Erik terkadang dianggap pelit oleh teman lainnya. Hal itu semakin membuat siswa lain mantap untuk memanggilnya dengan sebutan Koko, ataupun terkadang dengan sarkas memanggilnya 'Cino'. Jika Erik sedikit saja berbuat salah, kata-kata itu begitu mudah keluar dari mulut teman-teman yang lain. Lambat laun, hal tersebut berubah menjadi kebiasaan. Erikpun mencoba melawan. Dengan membeber sejumlah fakta, dia mengungkapkan bahwa sebenarnya dia bukanlah etnis Tionghoa. Terlihat sekali bahwa dia sudah cukup gerah melihat kenyataan yang menimpa dirinya. Namun, upaya Erik tersebut bagaikan menggarami air laut. Kawan-kawannya tidak memperdulikan pembelaan yang dia berikan. Mereka tetap saja memanggilnya Koko bahkan hingga saat ini, ketika mereka semua sudah lulus SMA.
Sebagai wali kelas, Bapak Sugeng Makmur, termasuk orang yang tidak suka akan hal yang menimpa Erik. Dalam berbagai kesempatan, beliau memperingatkan ulah anak didiknya yang termasuk perilaku rasis. Tidak jarang beliau mengungkapkan keprihatinannya terhadap kejadian tersebut. Beliaupun mendorong anak didiknya untuk mengubah perilakunya terhadap Erik. Pak Sugeng mengharapkan seluruh siswanya untuk memanggil Erik sebagaimana mestinya.
Memaknai cerita tersebut, bisa kita lihat diskriminasi rasial yang menimpa Erik. Dalam hal ini, terjadi panggilan-panggilan bernada rasial yang menghampiri Erik. Meskipun hal tersebut dimaksudkan untuk membuat suasana lebih akrab, sarana bercanda, dan sebagai kritik social terhadap perilaku Erik, panggilan-panggilan tersebut termasuk perilaku diskriminatif. Bahkan Teman-temannya cenderung tidak memanggil Erik dengan nama resminya. Ketika hal ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu, kita sebaiknya menghindari panggilan bernada rasial dalam keseharian kita. 

0 komentar:

Posting Komentar