Evani Pertika Raharjo
11/311868/SP/24447
DISKRIMINASI TERHADAP WARGA PENDATANG
Praktik diskriminasi masih sering ditemukan pada masyarakat Indonesia dan nampaknya masih sulit untuk dihilangkan. Hal tersebut terjadi akibat dari berbagai pembicaraan dan doktrin yang telah tertanam pada diri seseorang terhadap kelompok tertentu serta masih kentalnya budaya kedaerahan baik di pemerintah maupun masyarakat. Ironinya, pemerintah sebagai alat untuk melindungi dan menjamin HAM terkadang turut melakukan tindakan diskriminasi.
Kemudian disadari atau tidak, contoh praktik diskriminasi sering terjadi di lingkungan tempat tinggal kita. Salah satu contohnya terjadi di lingkungan tempat tinggal saya di daerah Bantul. Tindakan diskriminasi di lingkungan tempat tinggal saya yaitu terjadi perbedaan sikap pemerintah setempat terhadap warga pendatang dengan warga asli. Sehingga, dari tindak diskriminasi yang ada, kemudian berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak warga negara.
Lalu benarkah tindakan perbedaan yang saya maksud dalam kasus diatas dapat disebut diskriminasi?, Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita lihat dari pengertian diskriminasi itu sendiri. Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.[1] Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan pembedaan prilaku pada kelompok tertentu adalah contoh tindak diskriminasi.
Selanjutnya, dalam melihat kasus yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya, tindakan diskriminasi tersebut termasuk dalam “pembatasan yang didasarkan pada perbedaan kelompok”. Karena ada perbedaan sikap pemerintah setempat terhadap warga pendatangan sehingga terjadi pembatasan hak-hak warga negara dalam beberapa hal. Seperti warga pendatang seringkali kurang mendapatkan informasi berkaitan dengan program pemerintah, misalnya terkait dengan raskin (beras untuk keluarga miskin),BLT (Bantuan Langsung Tunai),dan lain-lain. Karena pada dasarnya, hak untuk memperoleh informasi telah diatur dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal 14[2]. Sehingga dengan kejadian tersebut, telah terjadi tindak diskriminasi dalam memperoleh informasi.
Kemudian ada kasus yang cukup menarik, ada warga pendatang yang meninggal beberapa minggu yang lalu. Namun, almarhum tidak boleh dimakamkan di daerah lingkungan rumahnya karena merupakan warga pendatang walaupun sudah memiliki KTP setempat yang menyatakan bahwa almarhum berdomisili di daerah tersebut. Pemakaman hanya boleh dilakukan untuk warga asli di lingkungan saya. Kejadian tersebut jelas tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 tahun 1987 pasal 1 tentang penyediaan tanah untuk pemakaman[3]. Sehingga berdasarkan kasus yang terjadi di atas bukan saja terjadi tindak diskriminasi tetapi juga terjadi pelanggaran hak-hak warga negara yang telah tercantum dalam konstitusi di Indonesia. Selain itu, sering pula terjadi pandangan sinis yang dilakukan oleh warga asli terhadap warga pendatang yang dinilai memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi sehingga timbullah suatu pembatasan atau gap. Padahal warga yang datang ke daerah ini juga merupakan warga Indonesia dan telah mengantongi aturan hukum yang jelas. Selain itu, salah satu tujuan mereka datang yaitu untuk meningkatkan taraf hidupnya. Bukankah hal tersebut diperbolehkan seperti yang tercantum dalam UU No. 39 Pasal 9 ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya [4]”. Sehingga tidak ada yang salah dengan warga pendatang (kecuali dia benar-benar terbukti melakukan tindak pidana tertentu) Lalu mengapa masih ada tindak diskriminasi terhadap mereka?
Oleh karena itu sebagai bangsa yang baik, demi upaya menghindari tindakan diskriminasi yang lebih luas seharusnya warga asli dan pendatang meningkatkan komunikasi melalui berbagai bidang, seperti arisan, pengajian, atau acara kumpul warga yang lain. Selanjunya untuk pemerintah sudah sepatutnya dapat menjalankan komitmennya dengan sebaik mungkin sesuai dengan yang tertuang dalam aturan hukum Indonesia, seperti dalam Pancasila, khususnya sila kelima. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi lagi tindak diskriminasi oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun pada kelompok tertentu, demi upaya terwujudnya persatuan Indonesia.
N.B : warga pendatang dalam kasus ini adalah warga yang bukan asli daerah tersebut yang sebagian besar bertempat tinggal di lingkungan perumahan.
[1] Deddy Arifin. 2012. RSBI/SBI Apakah Sebuah Diskriminasi Pendidikan . Dikutip di http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/17/rsbisbi-apakah-sebuah-diskriminasi-pendidikan/ diakses tanggal 25 Maret 2012 pukul 8.00 WIB
[2] Pasal 14 UU no 39 tahun 1999 ‘Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya’... Asian Human Rights Commission - Indonesia - [Indonesian Site].’ UU No 39 tahun 1999’. Dikutip di http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19. diakses pada 25 Maret 2012 Pukul 10.23 WIB
[3] Pasal 1 menyebutkan Tempat Pemakaman Umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa. Dikutip di BPHN. www.bphn.go.id/data/documents/87pp009.doc diakses tanggal 25 Maret 2012 pukul 10.25
[4] Asian Human Rights Commission - Indonesia - [Indonesian Site].’ UU No 39 tahun 1999’. Dikutip di http://indonesia.ahrchk.net/news/mainfile.php/hrlaw/19. diakses pada 25 Maret 2012 Pukul 10 23
0 komentar:
Posting Komentar